Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu meyakini, bencana banjir yang terjadi di sejumlah titik adalah akibat alih fungsi kawasan hutan. Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu kini telah menjadi kawasan budidaya dan kegiatan non kehutanan, seperti pertambangan batu bara.
Walhi mencatat, setidaknya ada sembilan perusahaan pertambangan batu bara di sana, dengan enam perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP-OP), dua perusahaan pemegang IUP yang telah dicabut, dan satu perusahaan dengan IUP-OP yang dibekukan.
Dede Frastien dari Walhi Bengkulu mengatakan, banjir di kawasan hilir terjadi akibat ketidaksesuaian perencanaan dengan pemanfaatan ruang di Bengkulu. Hutan sebagai kawasan lindung, penyangga kehidupan dan daerah resapan air justru kehilangan fungsinya.
Pemerintah daerah tidak mengontrol pemberian izin, terutama pertambangan. Karena itulah, sebagai langkah konkret, gabungan masyarakat sipil di Bengkulu akan melakukan gugatan ganti rugi terhadap sembilan perusahaan tersebut dengan mekanisme class action.
“Ketika hal itu terjadi, masyarakat terdampak yang merupakan korban banjir kiriman dari hulu DAS air Bengkulu, harus meminta tangung jawab. Kepada siapa? Yang pertama kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu, berdasarkan UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, mereka bertanggung jawab terhadap izin tesebut. Untuk dicabut izinnya. Sekaligus meminta ganti rugi terhadap kerugian materill yang dialami korban melalui mekanisme class action. Kita ugat perusahaan pertambangan yang berkontribusi terhadap banjir ini,” kata Dede.
Walhi meyakini, bencana ekologis banjir dan tanah longsor ini terjadi karena kondisi kritis dan degradasi lanskap Bukit Barisan. Selain itu juga karena terganggunya daerah resapan air serta sedimentasi DAS Bengkulu.Degradasi dan kekritisan kawasan hutan itu mencapai 80 persen.
Penyebabnya adalah aktivitas operasi produksi pertambangan batu bara dalam kawasan hutan yang semakin masif. Lokasinya tersebar di hutan lindung Bukit Daun, hutan produksi RinduHati 1 dan 2, hutan produksi Semidang Bukit Kabu, hutan produksi terbatas Bukit Badas, dan hutan lindung Bukit Gasing.
Pertambangan di dalam hutan konservasi Semidang Bukit Kabu kini makin parah dan perkebunan sawit dibuka begitu masif. Daerah aliran sungai juga mengalami pendangkalan sehingga tidak mampu menahan air dari hulu.
“Sedimentasi DAS tersebut disebabkan oleh limbah-limbah hasil pencucian batu bara yang hanyut melalui Sub DAS dan anak sungai secara terus menerus, dan limbah beberapa perusahaan industri ekstraktif lainnya seperti CPO dan karet, serta sampah rumah tangga,” tambah Dede.
Tidak ada jalan lain untuk mencegah bencana lagi di masa depan, kecuali menghentikan pemberian izin pertambangan. Selain itu, seluruh perusahaan penerima izin yang saat ini beroperasi maupun dibekukan, juga harus ditinjau kembali.
Ali Akbar dari Yayasan Kanopi Bengkulu kepada VOA mengatakan, bencana banjir tahun ini jauh lebih besar daripada kejadian serupa pada 1998. Ketika itu, hujan terjadi tiga hari tiga malam tanpa henti, namun wilayah yang terdampak tidak begitu luas, genangan tidak terlalu lama, dan tidak tercatat korban jiwa. Tahun ini, dengan hujan hanya sehari semalam, dampaknya sudah sangat luar biasa.
Pemerintah mencatat 30 korban meninggal, belasan hilang dan sekitar 13 ribu orang terdampak bencana banjir Bengkulu. Ribuan masih mengungsi sampai saat ini.
Dikatakan Ali Akbar, data penelitian mencatat, saat ini ada sekitar 19 ribu hektar wilayah di kawasan DAS Bengkulu menjadi kawasan tambang batu bara. Artinya, luasan itu dulu berupa hutan dan saat ini menjadi kawasan terbuka dan tidak mampu menahan laju air. Bekas area tambang pun tidak direklamasi sesuai aturan yang ada.
“Dengan pendekatan iklim mikro, sebenarnya itu kelihatan. Misalnya, perubahan iklim mikro di sekitar DAS Bengkulu, terjadi peningkatan temperatur, itu bisa kita pastikan. Belum lagi kita juga bisa melihat dari sisi aktivitas pertanian, di mana di wilayah hilir, banjir kecil sudah sering terjadi, dan itu sangat menggangu aktivitas pertanian,” kata Ali Akbar.
Menurut data yang ada, luas lahan terbuka pada 1990 tercatat sekitar 240 hektar atau 8,3 persen. Tahun 2005 menjadi 306 hektar atau sekitar 10,6 persen. Pada 2015, angkanya melonjak menjadi 1.114 hektar di mana itu merupakan 38,7 persen dari luas lahan. Tahun 2016, tercatat angkanya menjadi 1.211 hektar atau 42 persen dari total luas area yang mencapai 2.872 hektar. Peningkatan luas lahan terbuka itu mempercepat laju erosi tanah.
Pada tahun 2014, lanjut Ali Akbar, elemen gerakan masyarakat sipil di Bengkulu sebenarnya sudah memperingatkan pemerintah tentang risiko kerusakan DAS Bengkulu. Namun tidak ada respons sama sekali mengenai kekhawatiran itu, baik dari pemerintah daerah maupun pusat. Sangat disayangkan, setelah bencana besar akhir pekan lalu, pemerintah baru bersuara dan mengakui bahwa tambang batu bara berperan dalam kerusakan alam yang mengakibatkan banjir.
“Kalau pemerintah tidak sadar juga setelah banjir ini, saya tidak tahu apa lagi yang bisa membuat mereka sadar. Banyak pihak menyatakan bencana ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang mendapatkan legitimasi dari negara. Jadi, dengan kejadian seperti ini, kalau tidak ada kesadaran, bencana apa lagi yang bisa membuat pemerintah paham. Bencana ini besar sekali,” tambah Ali Akbar. [ns/uh]