Para pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno meyakini Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin telah berlaku curang sebelum, saat pencoblosan, dan sehabis pemilihan umum berlangsung. Mereka saat ini menyoroti kecurangan dilakukan oleh aplikasi Situng KPU yang masih memenangkan duet Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Para penyokong calon presiden Prabowo Subianto tersebut percaya hasil resmi akan diumumkan KPU pada 22 Mei ini juga akan menyatakan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang. Karena itulah, wacana people power untuk mendiskualifikasi duet Joko Widodo-Ma'ruf Amin digaungkan.
Menanggapi hal itu, dalam sebuah jumpa pers di kampusnya di Jakarta, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Dr. Doni Gahral Adian, menegaskan people power itu biasanya dilakukan terhadap rezim otoriter. Dia mencontohkan people power yang dilakukan di Filipina pada 1986 dan berhasil menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos. Kemudian Revolusi Islam di Iran pada 1979 yang mampu menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Tapi, lanjutnya, tidak pernah dalam sejarah ada people power dilakukan untuk memaksakan calon yang kalah dalam pemilihan umum demokratis.
"People power tidak bisa digunakan untuk membatalkan hasil pemilu yang sudah sedemikian demokratis dan memaksakan calonnya untuk menjadi pimpinan negara dengan cara-cara inkonstitusional. Ini bukan keinginan rakyat. Ini ambisi segelintir orang yang merasa kalau calonnya tidak terpilih maka asporasi-aspirasi radikalnya tidak bisa diaksentuasi dalam level pemerintahan," kata Doni.
Doni menekankan people power semacam ini inkonstitusional, bisa dikategorikan makar dan tidak boleh terjadi dalam sejarah politik Indonesia. Hal ini berpotensi memecah belah rakyat. Apalagi dia menilai sejak pemilihan gubernur Jakarta dua tahun lalu, masyarakat sudah terbelah.
Doni mengatakan terdapat sejumlah habib orang-orang keturunan Arab di Indonesia menggunakan paham radikal dan menghasut umat untuk menolak pemerintahan yang disebut anti-Islam, yang dialami oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Kelompok ini kecil tapi terus menerus menyuarakan pendapat-pendapat radikalnya di berbagai media dan bisa dikatakan kebisingannya menguasai media.
Menurutnya, kelompok ini pula yang menyuarakan people power karena mereka beranggapan calon presiden yang mereka dukung secara prosedural demokrasi dipastikan akan kalah.
Profesor Dr. Mustari Mustafa, pengajar di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, berpendapat komentar mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono - yang menuding Rizieq Syihab dan Yusuf Martak sebagai provokator revolusi - menggambarkan kegelisahan orang tua terhadap kondisi bangsa dan negara saat ini.
Mustari menambahkan pengertian sederhana dari revolusi adalah perang, konflik berdarah. Dia menegaskan seruan revolusi terhadap pemerintahan yang sah merupakan hal berbahaya dan melanggar konstitusi.
"Hal-hal seperti ini janganlah, tidak elok, sangat bertentangan. Doktrin kita sudah jelas yang paling sah itu adalah persatuan Indonesia. Kita tunggu saja kontes-kontes yang sekarang sedang kita ikuti, kita tunggu saja hasilnya di lembaga yang memang untuk itu," ujar Mustari.
Habib Alwi bin Muhammad Alatas dalam videonya mengatakan Habib Rizieq dan keturunan Arab lainnya bukan provokator, tetapi mereka sedang melawan keculasan dan kecurangan rezim saat ini.
Mantan Hakim Agung Profesor D. Gayus Lumbun mengakui seruan people power saat ini melanggar hukum karena ini merupakan bentuk hasutan. Seruan people power tersebut diembuskan pihak-pihak yang tidak puas karena calon presiden mereka usung akan kalah.
Gayus meyakini orang-orang yang menyerukan people power memang pantas diproses secara hukum karena seruan tersebuit dapat mengancam keselamatan negara. Sehingga pihak-pihak yang menggulirkan people power mesti diproses secara hukum.
"Karena people power itu tidak saja menyimpang dari hukum tapi mewakili siapa? Rakyat yang mana yang diwakili? Calon yang kalah? Tentunya itu jelas sekali tujuan keadilannya tidak ada, kemanfaatannya sangat jauh, dan kepastian hukumnya juga menyimpang," tutur Gayus.
Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya kemarin telah menetapkan Eggi Sudjana, pendukung calon presiden Prabowo Subianto, sebagai terssangka dalam kasus makar. Hal ini terkait ucapannya menyerukan people power.
Eggi menyebut penetapan tersangka itu menyalahi konstruksi hukum. Alasannya dia tidak mempersoalkan pemerintah yang sah namun kecurangan dalam pemilihan umum yang digelar pada 17 April lalu. [fw/as]