Pemerintah Provinsi Jawa Timur meminta Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun, yang didalamnya termasuk sampah plastik.
Hal ini terkait laporan adanya buangan sampah plastik di wilayah permukiman dan persawahan warga, di beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Malang.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa pihaknya telah meminta Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman serta Kementerian Perdagangan, untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan dan memastikan sampah plastik impor tidak lagi membanjiri wilayah Jawa Timur.
“Wilayah perizinannya itu ada di Kemendag. Izinnya tidak di pemprov, lembaga surveyornya bukan kewenangan pemprov. Maka kita menyurati kepada Kemenko Maritim,” ujar Khofifah.
“Kemudian, sudah rapat di sana, dan saya hadir di sana. Salah satu yang harus segera dilakukan revisi Permendag yang terkait dengan bahan impor, apa saja yang boleh diimpor. Kemudian, ketelitian dari lembaga surveyor yang ada di kepabeanan,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Prigi Arisandi, mengatakan masuknya sampah plastik dari luar negeri ke Jawa Timur dipengaruhi oleh pelarangan sampah impor oleh China. Akibatnya, sampah-sampah itu membanjiri negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Selain sampah plastik, Jawa Timur juga dibanjiri sampah kertas.
Ada sepuluh negara pengekspor sampah kertas terbanyak ke Jawa Timur, dari total 43 negara eksportir sampah, diantaranya Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura, Yunani, Spanyol, Belanda, dan Selandia Baru. Selama setahun terakhir, volume sampah kertas yang masuk ke Jawa Timur meningkat secara signifikan menjadi lebih dari 700 ribu ton pada 2018.
Prigi mendesak pemerintah memperbaiki tata kelola impor khususnya sampah kertas yang selama ini bebas pemeriksaan bea cukai karena masuk dalam komoditas green line. Gagalnya pengawasan dengan masuknya ratusan kontainer sampah kertas dan plastik dari luar negeri, menurut Prigi telah berdampak pada ancaman serius kerusakan lingkungan.
“Mengatur mekanisme perdagangan. Kedua, dampak lingkungannya. Jadi ada dua hal tadi, perdagangannya, ya tata kelolanya harus diperbaiki. Ekspor-impornya, surveyornya, inspeksinya, memasukkan impor kertas dalam red line, sebelumnya kan green line. Karena dengan pengalaman ini mereka kan, mereka (Kementerian) Perdagangan gagal, inspeksi gagal,” papar Prigi.
“Yang kedua, dampak lingkungan. Kita sudah temukan semua industri di buangannya ada microplastic, kemudian pembakaran, ini harus dihentikan, harus ada upaya pemerintah untuk secara regular, ada semacam (solusi) jangka panjang,” tambahnya.
Prigi juga mendorong adanya kajian mengenai dampak buangan sampah impor bagi lingkungan dan masyarakat di Jawa Timur, maupun wilayah lain yang menjadi tempat pembuangan. Dampak buangan limbah plastik secara terbuka di alam telah mengancam masyarakat maupun ekosistem makhluk hidup secara lebih luas, seperti temuan mikro plastik dalam saluran pencernaan ikan di sungai Brantas, sungai Surabaya dan sungai Porong.
“Minimal, ada semacam kajian seberapa dalam, seberapa besar, seberapa pentingnya dampak perdagangan sampah impor ini pada lingkungan di Jawa Timur. Kami menengarai ada dampak di udara, ada di air, ada di tanah, dan itu kan tanah, air, buminya, udaranya Jawa Timur,” ujar Prigi.
Ketua Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Iman Prihandono, mengatakan masuknya jenis sampah yang tidak dikehendaki, atau tidak masuk dalam daftar yang diizinkan harus menjadi tanggung jawab perusahaan importir serta pemerintah, sehingga sampah impor diekspor kembali ke negara pengirim atau asal sampah.
Selain itu, pemegang izin impor juga harus dikenai tanggung jawab untuk memastikan bahwa sampah impornya tidak mengandung limbah plastik, tambah Imam.
“Nah, kalau itu sampai terjadi, sampai ada limbah plastiknya yang dilarang untuk diimpor, yang tidak termasuk dalam izin yang diberikan, maka harus dilakukan re-ekspor. Re-ekspor kepada pengirim atau eksportir yang di negara asal,” katanya.
Imam menambahkan jika eksportir negara asal tidak mau mengambil barangnya, dalam 30 hari pemerintah punya kewenangan untuk mengirim barang itu lagi ke negara asal, dan negara asal tidak boleh menolak.
“Dari Konvensi Basel sendiri bilang, negara pengekspor itu tidak boleh menolak,” kata Imam menegaskan.
Sanksi hukum juga harus diberikan kepada pemegang izin impor dengan mencabut izin impor perusahan importir sampah yang melanggar peraturan, tambahnya.
“Satu-satunya sanksi hukum yang tersedia di Permendag itu, izin impornya dicabut. Harusnya sampai kepada izin usahanya dong dicabut,” kata Imam.
Namun dia mengakui bahwa mencabut izin usaha agak sulit. Jalan lainnya adalah dengan menggunakan mekanisme pemeriksaan lingkungan, kalau memang perusahaan tersebut mencemari lingkungan.
“Tapi dalam hal impor ini, Permendag 31/2016 itu memberikan kewenangan pemerintah untuk mencabut izin impor,” ujar Imam.
Kepala Bidang Jejaring Inovasi Pariwisata Bahari di Kemenko Maritim, Edi Susilo, menegaskan bahwa pemerintah serius untuk melakukan re-ekspor sampah plastik seperti yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kita sekarang adalah mendorong semua pihak untuk secara bersama mengambil tindakan yang bijak dalam hal mengelola sampah impor ini. Kita selama itu (re-ekspor) masih dibutuhkan kita dukung,” tutur Edi. [pr/ft]