Mahasiswa internasional terus merasakan dampak buruk perubahan politik di AS yang mempersulit kepindahan dan belajar di Amerika, kata Asosiasi Pendidik Internasional yang meminta tanggapan Kongres untuk bertindak.
“Siswa internasional menciptakan lapangan pekerjaan, mendorong penelitian, memperkaya ruang kelas dan, memperkuat keamanan nasional, dan menjadi aset kebijakan luar negeri terbesar Amerika. Namun pendaftaran mahasiswa internasional baru turun secara dramatis di seluruh Amerika, ” kata Rebecca Morgan, Direktur Media NAFSA (Association of International Educators) dalam laporan yang dirilis baru-baru ini.
AS sejak lama unggul dalam menarik mahasiswa asing untuk belajar di berbagai perguruan tinggi dan universitasnya. Ada satu juta lebih mahasiswa internasional di AS, dengan separuhnya berasal dari China atau India, demikian menurut statistik tahunan yang disusun oleh Institute for International Education (IIE).
Pendidikan internasional adalah industri bernilai $39 miliar dan merupakan pendapatan yang signifikan bagi beberapa kota dan negara bagian. Satu dari tiga mahasiswa internasional belajar di California, New York atau Texas. Sedangkan Massachusetts, Illinois, Pennsylvania, Florida, Ohio, Michigan dan Indiana memiliki populasi siswa asing yang juga cukup besar, kata IIE.
Sejak 2016, pemerintahan Trump telah mengubah kebijakan imigrasi untuk pelajar dan mahasiswa, dimulai dengan perintah eksekutif pada 2017 yang membatasi masuknya warga negara dari tujuh negara yang sebagian besar Muslim ke AS.
Ketika mengeluarkan keputusan itu Presiden Donald Trump menyebutnya sebagai tindakan demi keamanan nasional. Penurunan jumlah mahasiswa yang mendaftar di perguruan tinggi dan universitas AS bertepatan dengan apa yang dikatakan larangan perjalanan itu, dan banyak pendidik dan mahasiswa mengecam tindakan pemerintah tersebut.
Sejak itu, pemerintahan Trump mengancam akan membatasi durasi beberapa visa pelajar, khususnya pelajar dari China.
Keputusan itu berdampak sangat buruk pada antusiasme mahasiswa internasional pada AS, kata para ahli. Jika visa pelajar dibatalkan sebelum mereka lulus, mereka mungkin harus memulai lagi di negara lain, kehilangan uang kuliah, biaya, kredit, kontak, asosiasi, dan kadang-kadang, proyek penelitian.
"Tindakan pemerintah yang tidak konsisten dan ketidakpastian merongrong pertumbuhan ekonomi dan daya saing Amerika dan menciptakan kecemasan bagi pegawai yang mematuhi hukum," kata laporan IIE. "Dalam banyak kasus, para pegawai ini belajar di AS dan menerima gelar dari universitas AS sering di bidang penting STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)."
"Yang saya dengar dari mahasiswa adalah meningkatnya biaya, kurangnya strategi nasional, ketidakpastian imigrasi, dan retorika yang tidak bersahabat" membuat mereka tidak mau belajar di AS," kata Salma Benhaida, direktur rekrutmen internasional di Kent State University di Ohio.
Benhaida dan rekan perekrut mahasiswa lainnya memimpin pertemuan pada konferensi tahunan NAFSA di Washington minggu ini. Ketika mereka menanyakan berapa banyak perguruan tinggi dan universitas mengalami penurunan pendaftaran, sekitar separuh dari 150 pendidik dan perekrut yang hadir mengangkat tangan mereka. Sebagian menyebutkan masalah keselamatan dan keamanan yang mahasiswa dari keluarga mereka terkait kekerasan A.S., seperti penembakan massal dan kerusuhan di dekat kampus.
Negara-negara Pesaing
Negara-negara saingan telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengalihkan pelajar internasional dengan cara mereka. Dalam dua tahun terakhir, negara-negara seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan lainnya menyaksikan hasil yang luar biasa sementara pendaftaran siswa baru di AS tidak mengalami perubahan.
David Di Maria, wakil rektor, asosiasi pendidik internasional di Universitas Maryland-Baltimore County, menunjukkan Kanada mengalami peningkatan 17 persen dalam pendaftaran siswa internasional sejak 2016.
“Karena Kanada dipandang sebagai masyarakat yang tidak diskriminatif” oleh pelamar internasional,” tambahnya .
Rajika Bhandari, penasihat untuk penelitian dan strategi di IIE, melaporkan China berada di urutan ketiga terbesar dengan untuk mahasiswa internasional, yang oleh para pendidik disebut sebagai "bergerak secara global."
"Pesaing seperti Kanada, China, dan Australia merekrut dan menarik lebih banyak siswa dan sarjana internasional dan mendapat manfaat dengan mengorbankan Amerika Serikat," kata Rebecca Morgan, Direktur Media NAFSA.
"Sebagai contoh, pada 2014, Cina melampaui Inggris dan Amerika Serikat sebagai tujuan utama bagi siswa internasional dari Afrika - dan terus menarik jumlah siswa yang semakin meningkat dari benua Afrika."
Tetapi para pendidik dan pejabat mengatakan pertukaran budaya mahasiswa internasional sama berharganya dengan ekonomi Amerika seperti halnya dolar. Pertukaran ini berdampak berganda dalam diplomasi, hubungan internasional dan stabilitas, kata mereka.
"Persaingan sekarang demi hati dan pikiran para pemimpin dan pebisnis masa depan," kata Di Maria.
Ketika mahasiswa datang ke AS, mereka menjalin hubungan yang bisa bertahan seumur hidup. Dan karena AS telah menarik minat "orang terbaik dan tercerdas" dari seluruh dunia, hubungan itu mungkin akan muncul kemudian dalam pertemuan perusahaan, pertukaran bisnis internasional dan dalam diplomasi dan geopolitik.
“Siswa internasional belajar tentang hal-hal terbaik dari Amerika bersama mahasiswa kita dari kota besar, kota kecil dan komunitas pedesaan di Central Valley dan di seluruh California - menginspirasi keterkaitan global dan menjadikan pendidikan internasional sebagai inkubator sempurna untuk diplomasi,” kata Rebecca Morgan dari NAFSA mengutip Marjorie Zatz, wakil rektor dan dekan pendidikan pascasarjana di University of California-Merced.
"Pengetahuan tentang budaya Amerika dan struktur politik dan sosial kita berfungsi diplomatik seperti halnya pendidikan."
Laporan itu juga mengutip CEO Tim Cook dari Apple, Chuck Robbins dari Cisco Systems, dan Indra K. Nooyi mantan CEO PepsiCo, yang secara terbuka memuji peran mahasiswa internasional dalam inovasi AS. [my/al]