Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, Badan Litbang Pertanian bersama para ibu penyintas bencana yang tinggal di kawasan Huntara desa Lolu Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah mengubah lahan kering yang ditumbuhi duri dan semak belukar menjadi lahan yang dapat ditanami tanaman palawija dan hortikultura. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hasil dari usaha pertanian mereka itu sebagian dapat mereka jual untuk membiayai kebutuhan ekonomi keluarga.
Sejumlah ibu rumah tangga yang berada di Huntara Desa Lolu, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah pada Selasa sore (30/7) mengisi waktu mereka dengan membersihkan daun-daun kering dari tanaman jagung yang tumbuh di sekitar Hunian Sementara (Huntara) yang telah mereka tempati dalam sembilan bulan terakhir.
Selain tanaman jagung, para ibu yang tergabung dalam kelompok tani Galaksi singkatan dari Gempa dan Likuifaksi itu, memanfaatkan lahan seluas satu hektar di belakang rumah mereka untuk menanam sayur sawi, rica, tomat hingga pohon pepaya.
Ketua Kelompok Tani Perempuan Galaksi, Siano Lakere (57) kepada VOA mengatakan awal mulanya mereka masih menanam dalam skala kecil di sekitar bangunan Huntara karena keterbatasan air yang harus diambil dari tempat yang jauh. Air untuk menyiram tanaman memanfaatkan air bekas cucian.
Pada bulan Januari 2019, lembaga kemanusiaan dari Jerman membuatkan sumur bor sedalam 30 meter yang airnya melimpah sehingga mereka dapat menggarap lahan seluas satu hektar yang dipinjamkan oleh warga setempat. Lahan itu sebelumnya ditumbuhi semak belukar serta tanaman berduri.
“Pertama kita pikir, bagaimana kita hidup di sini, tidak ada air. Satu bulan di sini, saya mulai nanam di sini sudah mulai, tapi belum banyak seperti ini karena belum ada air. Pas dua bulan tiga bulan ada air, mulai garap semua ini, baku ajak dengan teman-teman di sini, ayo kita menanam,” cerita Siano penuh semangat.
Siano Lakere mengakui keberhasilan mereka mengolah lahan gersang itu tidak terlepas dari dukungan penyuluh pertanian dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah yang secara aktif mendampingi kegiatan pembukaan lahan, menyediakan bantuan benih, memberikan bimbingan dalam teknik penanaman dan pencegahan hama penyakit. Hasil dari kegiatan menanam sayur-sayuran setidaknya bisa digunakan untuk keperluan rumah tangga, dan bahkan ada yang bisa dijual untuk menambah penghasilan keluarga.
“Pertama sudah bisa kita konsumsi untuk setiap hari, kemudian kalau ada lebihnya ya bisa kita jual ke pasar, artinya bisa membantu kebutuhan rumah tangga ini. Satu kali ke pasar itu, bisa empat puluh ribu itu pak, hari minggu empat puluh ribu, hari Kamis empat puluh ribu kan seperti itu, bahkan kadang lebih,” jelas Siano.
Hilda, seorang ibu rumah tangga lainnya, mengatakan hasil dari mengolah kebun di lahan sekitar huntara itu masih diprioritaskannya untuk dipakai sendiri, setidaknya bisa memangkas biaya pembelian sayur-sayuran untuk dikonsumsi sehari-hari.
“Tidak usah dulu kita memikirkan untuk menjual yang penting sudah ada yang bisa kita konsumsi itu sudah alhamdulillah karena posisi kita sekarang saja pekerjaan setengah mati. Jadi, jalan satu-satunya kita sekarang tinggal berkebun untuk bisa ada yang kita konsumsilah sekarang. Mau kerja tukang juga sekarang sudah setengah mati, mau kerja usaha di rumah juga setengah mati. Jadi, sekarang hampir rata-rata pengungsi yang ada di sini semua bercocok tanam sekarang”
Andi Baso Lompengeng, kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah mengatakan model pemanfaatan lahan kosong di sekitar Hunian Sementara merupakan program jangka pendek Badan Litbang Pertanian untuk membantu para petani terdampak bencana gempa bumi dan likuifaksi, yang saat ini umumnya tidak dapat mengolah lahan pertanian mereka yang rusak. Dengan menggunakan teknologi pertanian yang tepat seperti penggunaan benih yang toleran terhadap kekeringan maka lahan-lahan kering di sekitar hunian sementara dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija maupun hortikultara.
“Memanfaatkan lahan-lahan pertanian seperti ini dengan inovasi teknologi menggunakan benih yang varitas yang memang toleran terhadap kekeringan. Kemudian, kita memanfaatkan sumur atau air dangkal karena komiditas-komoditas yang dikembangkan itu bukan membutuhkan air banyak, palawija, hortikultura seperti yang kita lihat sekarang itu sangat berpeluang untuk dikembangkan,” jelasnya.
Ahsan (49) Kepala Dusun 3, Desa Lolu Kabupaten Sigi, mengakui keberhasilan para ibu kelompok tani perempuan mempengaruhi warga lain yang ingin ikut terlibat mengolah lahan tidur yang masih cukup luas. Namun, keinginan itu masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan sumur bor .
“Lahan memang banyak, lahan kosong yang mau diolah, tapi air, kendalanya di air kita ini Pak,” keluh Ahsan.
Menurut Ahsan bila di tempat itu dibuat setidaknya satu sumur bor lagi, maka ada sekitar empat hektar lahan yang bisa dimanfaatkan oleh 200 keluarga yang tinggal di Huntara untuk ikut menanam tanaman palawija dan hortikultura sehingga mereka bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun memperoleh pendapatan dengan menjual hasil pertanian ke pasar tradisional. [yl/lt]