Delapan bulan sudah konflik di Kabupaten Nduga berlangsung, sejak serangan terhadap pekerja pembangunan proyek jembatan di jalan Trans Papua, Desember tahun lalu. Kementerian Sosial mencatat 53 orang meninggal selama konflik, tetapi aktivis Papua mengatakan jumlah korban tewas jauh lebih besar.
Pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan data korban tewas konflik Nduga sebanyak 53 orang. Namun, Tim Solidaritas Peduli Konflik Nduga membantah angka itu. Theo Hesegem dari tim ini mengatakan kepada VOA, jumlah korban tewas lebih dari tiga kali jumlah yang dilaporkan, mencapai 182 orang. Ia mengatakan, timnya sudah memeriksa setiap nama dan menjamin datanya lebih valid.
“Kami, setelah mengumpulkan data ini, kemudian kita klarifikasi dan identifikasi dengan seluruh Hamba Tuhan, pendeta dan masyarakat. Kita paparkan di depan mereka untuk klarifikasi semua itu, dan seluruh Hamba Tuhan menyatakan bahwa nama-nama korban itu dibenarkan, dan Hamba Tuhan dan pendeta itu mengatakan, itu umat kami dan kami tahu bahwa mereka memang sudah meninggal,” kata Theo yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua.
Theo berada di Wamena dan mengaku khusus untuk korban di sekitar daerah itu, dia telah mendatangi, mengambil foto korban atau makam mereka.
Menurut data yang dikumpulkan tim investigasi, korban konflik Nduga ini ada yang meninggal di hutan, di tempat pengungsian ataupun tempat tinggal mereka sendiri. Penyebabnya, antara lain sakit, kelaparan dan tertembak. Ada beberapa bayi baru lahir yang meninggal, begitu pula ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Semua karena kondisi hutan yang tidak mendukung, terutama cuaca dingin yang harus dihadapi tanpa perlindungan layak.
“Yang meninggal di hutan, sebagian sakit karena kedinginan. Anak-anak kecil itu, ada yang tidak makan sehingga menyebabkan sakit dan kemudian meninggal. Apalagi daerah itu cukup dingin, di hutan anak-anak kecil berumur 1-2 tahun itu tidak akan bisa bertahan. Sehingga kalau sampai berbulan-bulan konflik, kondisi itu mengakibatkan anak-anak itu meninggal dunia,” tambah Theo.
Tim Solidaritas Peduli Konflik Nduga, yang terdiri sejumlah aktivis LSM, pendeta dan tokoh masyarakat mendesak diadakannya gencatan senjata di sana. “Pemerintah pusat diminta mempertimbangkan opsi penarikan pasukan. Dengan begitu para pengungsi bisa diminta untuk kembali ke kampungnya, dan keadaan dapat dipulihkan dengan segera. Salah satu pihak harus mundur, OPM atau TNI harus mundur, gencatan senjata,” tegas Theo.
Tim investigasi ini mencatat, puluhan ribu warga masih mengungsi sampai hari ini. Di distrik Mapenduma ada 4.276 pengungsi, distrik Mugi 4.369 orang, Distrik Jigi sebanyak 5.056 orang, Distrik Yal 5.021 orang dan di Distrik Mbulmu Yalma ada 3.775 orang. Selain itu, pengungsi juga ada di Distrik Kagayem 4.238 orang, Distrik Nirkuri 2.982 orang, Distrik Inikgal 4.001 orang, Distrik Mbua 2.021 orang, dan Distrik Dal 1.704 orang.
Mereka juga menemukan fakta, sejumlah fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah dan puskesmas pembantu dirusak atau dibakar. Kondisi ini membuat warga Nduga tidak dapat mengakses layanan sosial, terutama pendidikan. Untungnya, setidaknya ada 81 guru yang ikut mengungsi dan mendirikan sekolah darurat. Setidaknya upaya ini membantu sebagian kecil anak-anak Nduga untuk tetap bisa mengikuti proses belajar.
Agus Kadepa dari Gerakan Papua Mengajar yang juga tergabung dalam tim solidaritas ini menyoroti sektor pendidikan yang kini terabaikan. Dia mencatat, tidak ada satupun anak Nduga yang lulus SMA tahun ini melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sementara kegiatan belajar mengajar di tingkat sekolah dasar dan menengah nyaris tidak ada.
“Di seluruh kabupaten Nduga, dari batas ke batas, itu tidak ada aktivitas belajar-mengajar. Bahkan di beberapa kampung, justru fasilitas umum, misalnya sekolah, dijadikan oleh militer sebagai tempat penginapan, dijadikan markas untuk sementara, sehingga tidak ada aktivitas,” kata Agus Kadepa kepada VOA.
Ia menjelaskan, sampai saat ini tidak ada pihak yang mengambil alih tanggung jawab pendidikan anak-anak. Pemerintah dan gereja tidak melakukan apa-apa. Agus menuding, karena TNI maupun kelompok bersenjata di Papua sama-sama memasang harga mati pada prinsip mereka, hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan merasa aman terabaikan
“Itu problem dengan label NKRI harga mati dan kemudian ada juga Papua Merdeka harga mati. Karena itu menjadi harga mati, tidak ada tawar-menawar di kedua belah pihak. Tetapi persoalan Papua ke depan, yang lebih besar, itu tidak boleh mati. Dalam arti, sisi kemanusiaan, sektor pendidikan, harus dipikirkan oleh kedua belah pihak,” kata Agus Kadepa kepada VOA.
Agus bercerita, sebetulnya ada sejumlah sekolah darurat sempat didirikan, namun kini tidak beroperasi kembali karena dibongkar oleh pihak yang tidak dapat diidentifikasi sampai saat ini. “Bolehlah kita pikirkan soal harga mati kedua-duanya. Tetapi kemudian, kita tidak boleh mati seluruhnya, dalam semua aspek, terutama pendidikan. Papua hari ini, masa depannya ditentukan oleh anak-anak ini. Makanya anak-anak Nduga harus diselamatkan dari konflik yang ada,” tegas Agus.
Sebelumnya, Kementerian Sosial menyatakan bahwa jumlah pengungsi Nduga yang meninggal mencapai 53 orang, dengan 23 di antara mereka tergolong anak-anak. Kemensos menolak data lain yang menyebutkan jumlah korban meninggal lebih dari 130 orang.
“Jumlah korban meninggal dunia itu merupakan akumulasi dari awal konflik terjadi. Mereka meninggal karena sakit," kata Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos RI, Harry Hikmat, dalam keterangan resminya.
Kementerian Sosial sendiri pekan lalu memberikan bantuan bagi pengungsi konflik Nduga. Namun, pengungsi justru menolak kedatangan bantuan itu karena pemerintah menggunakan militer dalam pembagian bantuan. Para aktivis menyarankan, penyaluran bantuan sebaiknya melalui pemerintah daerah atau lebih baik lagi mengajak pihak gereja, yang dianggap lebih netral oleh warga setempat.
Pemerintah Kabupaten Nduga mengungkapkan, lebih dari 3.300 siswa tidak bisa bersekolah sejak konflik terjadi. Banyak guru ketakutan dan tidak berani mengajar. Akibat konflik itu, 17 sekolah dasar, empat SMP dan sebuah SMA tutup di Nduga. [ns/ab]