Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tiba di New York untuk sidang Majelis Umum PBB Senin (9/23) waktu setempat.
Di sela kegiatannya Menteri Susi memaparkan keberhasilan Indonesia mengendalikan penangkapan ikan ilegal, pada Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat. Namun faktanya di tataran internasional menunjukan isu tersebut tidak ditanggapi dengan serius seperti yang diharapkan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyesalkan hingga saat ini PBB masih belum menetapkan pencurian ikan (illegal fishing) sebagai kejahatan internasional.
“Target kita kan sebetulnya memenuhi undangan UNGA bahwa kita sama-sama punya komitmen terhadap climate change, terhadap sustainability dari oceans juga keberlanjutan dari sumber daya laut kita,” kata Menteri Susi Pudjiastuti.
Menurut Susi, praktek kejahatan perikanan dan kelautan ini bukan hanya berdampak pada satu negara, tapi hampir seluruh negara di dunia yang memiliki kawasan perairan mengalami kerugian akibat tindakan kejahatan tersebut. Susi mengatakan, pencurian ikan biasa dibarengi dengan penyelundupan narkoba, senjata, dan produk ilegal lainnya sampai dengan manusia.
Susi mengatakan, tindakan kejahatan yang berada di perairan ini sangat terorganisir. Operasinya didukung oleh kelompok-kelompok organisasi yang cukup besar.
Tidak hanya itu, pencurian ikan tidak hanya merugikan dari segi perikanan, pada prakteknya banyak kejahatan dan pelanggaran lain yang ikut serta dalam praktek ini. "Misalnya kejahatan kemanusiaan, praktek perbudakan, jual beli narkoba, senjata tajam, senjata api ilegal, hingga pelecehan seksual yang terjadi di atas kapal," kata Susi kepada Tim VOA dalam kuliah umumnya di New York University, Senin (9/23).
Selain itu, kata Susi, pencurian ikan akan berdampak pada ekonomi dalam negeri. Barang atau spesies selundupan akan dijual dengan harga murah, sehingga memungkinkan terjadinya kompetisi yang tidak sehat.
Praktek tersebut tak hanya berdampak pada berkurangnya stok ikan di lautan, namun juga persaingan ekonomi yang tidak sehat. Hal ini mengakibatkan punahnya beberapa spesies laut lainnya seperti salah satunya praktik jual beli sirip ikan hiu yang dilakukan secara ilegal, jelas Menteri Susi ketika menjawab beberapa pertanyaan peserta kuliah umum.
Seruan Menteri Susi ini diikuti dengan upayanya melobi komunitas internasional untuk menjaga ekosistem laut hingga dalam sidang umum PBB yang digelar September 2019 di New York, AS. Gaya khas Susi dalam melobi sejumlah perwakilan negara lain pun tak jarang menghasilkan suatu kesepakatan bersama yang memberi dampak positif dalam perlindungan laut.
Kepemimpinan Menteri Susi dinilai strategis, seperti yang diuraikan Zuraida, salah seorang peserta kuliah umum saat ditemui tim VOA.
“Tentang effort yang sudah beliau lakukan untuk melakukan ilegal fishing dan juga beberapa effort sustainability lainnya. Saya pikir ini kolaborasi internasional seperti misalnya bisa in line dengan SDG. Jadi mudah-mudahan tahun 2030 itu kita benar-benar in line dengan negara-negara dalam melindungi lautan kita.”
Susi Pudjiastuti mengatakan, dirinya menyambut baik upaya Indonesia yang telah menjadikan ilegal fishing sebagai kejahatan transnasional.
“Transnational organized crime itu bukan inisiatif Indonesia. Komitmen Indonesia tentang memerangi ilegal fishing juga itu terus bersama global dalam hal memerangi ilegal fishing dan bertambahnya marine protected area.”
Dukungan juga datang dari Norwegia dan Interpol. Perwakilan Tetap Norwegia untuk PBB, Geir O Pedersen, mengungkapkan, 40 persen tindakan kriminal sektor perikanan yang terjadi telah menghabiskan sumber daya ikan yang ada.
Ia mengharapkan sektor perikanan mulai memperhatikan pentingnya keberlanjutan agar sumber daya laut yang dinikmati saat ini, bisa juga dinikmati oleh generasi yang akan datang. Demikian halnya Zuraida yang juga berharap keterlibatan Indonesia melalui sejumlah upaya lobi Menteri Susi di sela-sela kegiatannya di PBB dapat memberikan hasil yang maksimal.[mg/ab]