Anjungan sumur minyak Montara berjarak 700 km dari Kota Darwin, Australia Utara. Lokasi itu, juga hanya berjarak 250 km ke Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur. Saat meledak dan terbakar pada 2009, anjungan itu menumpahkan 23 juta liter minyak selama 74 hari dari Agustus hingga November.
Tumpahan minyak mentah menyebar ke wilayah seluas 92 kilometer persegi dan merusak pesisir di 13 kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur (NTT), serta menghancurkan kehidupan nelayan serta petani rumput laut.
Montara dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP, perusahaan eksplorasi migas asal Thailand.
Masyarakat setempat telah berulangkali meminta pemerintah pusat bertindak. Namun hingga sepuluh tahun lewat, lebih banyak diskusi yang dilakukan dibanding gugatan hukum atau upaya mediasi ganti rugi.
Diminta tanggapannya, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim, Indonesian Center for Environment Law (ICEL), Ohiongyi Marino mengaku heran dengan kenyataan ini. Menurutnya, pemerintah memang sempat mengajukan gugatan, tetapi kemudian ditarik dengan alasan kedudukan hukum tergugat yang salah.
“Lalu kemudian, mengapa pemerintah tidak mengajukan gugatan lagi sendiri? Itu yang patut kita pertanyakan. Mengapa pemerintah yang sudah mengajukan gugatan, tiba-tiba menarik, lalu tidak mengajukan gugatan ulang, dengan memperbaiki kesalahan yang ada,” kata Marino kepada VOA.
Terlambatkah Ajukan Kembali Kasus Montara?
Apakah sudah terlambat? Menurut Marino upaya hukum atau mediasi di luar pengadilan tidak memiliki batas waktu. Meski sepuluh tahun telah lewat, semua data dampak dan kerugian telah tersusun rapi. Seluruh data itu juga disusun secara ilmiah, sehingga bisa menjadi bukti di pengadilan. Jika pun bukan gugatan hukum, pemerintah seharusnya meminta ganti rugi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang ada.
Sebuah tim dari firma hukum Australia pernah melakukan penghitungan, bahwa kerugian nelayan dan petani rumput laut di NTT karena kasus ini bisa mencapai Rp 5,5 triliun. Sedangkan kerusakan lingkungannya diperkirakan senilai Rp 10 triliun. Angka itu karena tumpahan maupun dampak buruk pemakaian bahan kimia untuk mengatasinya.
Sayangnya, pemerintah Indonesia selaku pemilik kawasan, justru menetapkan angka kerugian jauh lebih kecil. Pada April 2011, Menteri Perhubungan ketika itu, Freddy Numberi menyebut nilai ganti rugi langsung dan tidak langsung yang diminta pemerintah hanya Rp 247 miliar. Angka itu kabarnya sudah disampaikan kepada PTTEP dan akan dibayar, tetapi tidak terealisasi sampai saat ini.
Gugatan Petani Rumput Laut
Karena pemerintah tidak mengambil tindakan yang cukup, sekelompok petani rumput laut mengajukan gugatan terhadap PTTEP di pengadilan Australia. Mereka didampingi tim dari kantor pengacara Maurice Blackburn. Gugatan ini didaftarkan pada 3 Agustus 2016 itu, dan persidangan dimulai pada Juni 2019 lalu. Nilai ganti rugi yang dimintakan adalah 200 juta dollar Australia atau sekitar Rp 1,9 triliun.
Marino dari ICEL yakin, gugatan ini akan membawa hasil.
“Dengan diterima sebagai legal standing untuk melakukan gugatan ke Australia, itu sudah sangat baik. Dia, petani rumput laut itu, sebagai warna negara Indonesia, bisa mengajukan gugatan, diterima legal standing, diterima kedudukan hukumnya, itu sudah sangat progresif,” kata Marino.
Seorang petani rumput laut, Daniel Sanda bertindak mewakili 15.843 petani lain dalam mengajukan gugatan. Mereka didampingi oleh Ferdi Tanoni, selaku Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara. Sejak pertengahan 2017, Ferdi Tanoni secara resmi diangkat sebagai tim gugus tugas (task force) Montara yang dibentuk Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan.
Menurut Ferdi, sidang terus berjalan di pengadilan sejak Juni sampai saat ini. Pemeriksaan saksi masih akan berlangsung setidaknya sampai Desember 2019. Setelah itu, hakim akan menyusun keputusan yang diperkirakan baru akan keluar pada pertengahan 2020.
“Sidang pada 28-29 Oktober ini, akan ada saksi ahli yang diperiksa sampai bulan Desember. Setelah itu, diserahkan kepada hakim, dalam membuat putusan. Sementara kami, terus mendesak pemerintah Australia untuk duduk bersama pemerintah Indonesia, untuk segera menyelesaikan masalah ini. Tidak bisa didiamkan seperti, ini karena maslah terlalu besar,” kata Ferdi kepada VOA.
Hanya Dua dari 13 Kabupaten Terdampak yang Menggugat
Menurut Ferdi, sebenarnya nelayan dan petani rumput laut yang terdampak tumpahan minyak ada di 13 kabupaten dan kota di NTT. Namun, gugatan ini hanya dilakukan untuk petani rumput laut di dua kabupaten saja. Pengacara mereka dari Sydney belum memasukkan nelayan sebagai pihak yang menggugat.
“Yang menjadi saksi ada 42 orang, yang dihadirkan ke persidangan ada 38 petani rumput laut. Segala macam bukti sudah kami berikan. Dulu memang sepakat nelayan juga menggugat, tetapi pertimbangan pengacara ini petani rumput laut dulu, ya sudahlah yang penting jalan. Padahal di Sabu, Fleres Timur, Alor, Lembata dan Sumba juga habis,” ujar Ferdi.
Upaya Pemerintah Lambat
Sejak 2017, Ferdi Tanoni sudah tergabung dalam Gugus Tugas Montara yang dibentuk Luhut Binsar Panjaitan. Tim ini mengalami penyempurnaan pada Agustus 2018 untuk mempercepat geraknya. Sayang, kata Ferdi, gugus tugas bentukan pemerintah ini tidak bekerja efektif.
Menurut Ferdi, penting bagi Joko Widodo sebagai presiden untuk membahas masalah ini langsung dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Namun nampaknya, hal itu tidak pernah dilakukan.
“Bahwa kita dengan Australia itu teman, oke. Tetapi dalam masalah ini, kerugiannya besar sekali. Australia tidak bisa terus menggampangkan begitu saja,” tambah Ferdi.
Kepala Satgas Montara: Tak akan Lakukan Penyelesaian di Luar Pengadilan
Dalam keterangan resmi yang disampaikan Kemenko Maritim pada April 2019 lalu, Pemerintah Indonesia dan Australia tercatat telah meratifikasi UNCLOS (United Nation Conventions on the Law of The Sea). Berdasarkan UNCLOS, kedua pemerintah sama-sama bertanggung jawab untuk menangani dampak pencemaran di laut Indonesia.
Keterangan itu disampaikan oleh Ketua Satuan Tugas Montara, Purbaya Yudhi Sadhewa, yang juga Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kemenko Maritim.
Dalam pasal 195 konvensi itu disebutkan bahwa dalam mengambil langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan polusi lingkungan laut, negara-negara harus bertindak agar tidak mentransfer, secara langsung atau tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari satu area ke area lain atau mengubah satu jenis polusi ke area lain.
Purbaya juga menegaskan, bahwa Indonesia tidak akan melakukan penyelesaian di luar pengadilan dengan perusahaan asal Thailand, PTTEP. Dia mengutip pertemuan antara Luhut dengan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-O-Cha pada 2018. Perwakilan PTTEP datang untuk membicarakan kemungkinan penyelesaian di luar pengadilan.
“Saya sampaikan bagaimana kalau kami, pemerintah dan PTTEP, menunjuk asesor independen, yang disetujui berdua, kemudian terima hasilnya. Fair kan? Tetapi enggak mau dia,” kata Purbaya.
Ia menambahkan, saat itu PTTEP tidak setuju karena mereka hanya sanggup memberikan ganti rugi sebesar AS$5 juta.[ns/em]