Di tengah kemajuan teknologi dan kebudayaan global, tradisi pernikahan anak masih dipertahankan di sejumlah desa dan kampung adat di Indonesia. Salah satunya Dusun Sasak Sade di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Hal itu menjadi tantangan dalam memerangi dampak negatif kawin anak.
Dusun Sasak Sade, salah satu desa tradisional di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, masih mempertahankan banyak tradisi warisan nenek moyang, seperti menenun untuk kaum perempuan, dan mengepel lantai rumah menggunakan kotoran kerbau atau Belulut.
Tidak hanya itu, Dusun Sasak Sade juga masih mempraktikkan tradisi kawin culik atau kawin lari, untuk anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Tradisi itu sudah ada sejak 1097 masehi.
Thalim (26), seorang warga Kampung Sasak Sade menuturkan, tradisi kawin culik berlaku untuk anak perempuan di dusun itu yang telah masuki masa akil balig, atau ketika menginjak jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Biasanya, mereka diculik oleh kerabat terdekat untuk dinikahi.
“Kalau kita mengambil orang luar, agak jauh dari garis keturunan itu harus dengan cara kawin lari atas dasar suka sama suka. Tidak ada unsur paksaan. Kalau perempuannya tidak suka atau misalnya agak jauh garis keturunan, tidak boleh dipaksa. Kalau (kerabat) dekat harus mau,” kata Thalim.
Akibat tradisi kawin anak itu, banyak perempuan di Dusun Sasak Sade berpendidikan rendah. Rata-rata anak perempuan di dusun Sade menikah pada usia 14 atau 15 tahun dengan cara kawin culik atau kawin lari, papar Thalim. Alasannya, perempuan akan dicap perawan tua oleh para kerabat bila belum menikah pada usia 20 tahun.
Thalim mengatakan, perempuan yang telah menikah akan kembali ke rumah dan menjadi ibu rumah tangga, meski sebelumnya ia bersekolah atau bekerja sebagai pegawai di luar kampungnya.
“Itu cowok paling maksimal 25. Tapi khusus untuk perempuan di sini, sekali pun sekolahnya tinggi, susah untuk jadi pegawai. Karena perempuan di sini sekalipun sudah kerja, kemudian menikah tidak boleh dilanjutkan kerjanya itu, harus tetap tempatnya di dapur,” ujar Thalim.
Meski banyak perkawinan usia muda di kampung Sasak Sade, Thalim mengaku anak perempuan yang menikah dini tidak mengalami masalah kesehatan reproduksi. Thalim atau biasa disapa Amak Eva atau bapak dari Eva (nama anak pertamanya), mengaku saat menikah dia berusia 17 tahun, sedangkan istrinya masih berusia 14 tahun. Seperti tradisi di Dusun Sasak Sade, Thalim juga menikahi istrinya dengan kawin culik.
“Alhamdulillah di sini tidak ada (masalah kesehatan), banyak juga yang sudah mempertanyakan. Hubungan rumah tangga saya sudah berjalan kurang lebih sembilan tahun, sudah punya anak dua,” tutur Thalim.
Menurut Pendiri dan Direktur Eksekutif Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah, kawin anak masih marak di kawasan pedesaan yang minim akses pendidikan, baik dari segi kualitas maupun fasilitas. Perkawinan yang dialami anak-anak di kampung Sade, kata Yuliati Umrah, hanya melihat faktor biologis, yaitu saat anak perempuan mulai menstruasi. Tapi tidak memperhatikan kesiapan mental-psikologis maupun pengetahuan anak mengenai pranata keluarga.
“Nilai-nilai yang lebih banyak berkembang itu nilai tradisi yang lama. Kita juga dulu, zaman-zaman nenek moyang juga menempatkan usia perkawinan itu setelah menstruasi, dianggap dewasa itu sama dengan balig, balig itu kemampuan biologis saja, tidak melihat pada faktor-faktor yang lain,” papar Yuliati Umrah.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida mengatakan, meski budaya dan tradisi dalam masyarakat harus dijaga dan dirawat, namun budaya yang kurang baik seperti pernikahan anak harus mulai ditinggalkan.
“Dengan perkembangan zaman, seharusnya budaya yang semacam ini tidak lagi dilestarikan. Kalau mengikuti pemerintah tentang kewajiban belajar ini berarti sampai lulus SMA kan sebenarnya. Kalau perkawinan itu di bawah usia 18, itu perkawinan dini atau perkawinan anak ini tadi, ini sudah bertentangan dengan kewajiban belajar,” kata Anis Farida kepada VOA.
“Tapi sekali lagi, kultur sosial budaya atau pun tuntutan di masyarakat setempat masih seperti itu, kecuali pada masyarakat yang memang sudah berpendidikan dan ingin anaknya ini menempuh pendidikan yang baik,” imbuhnya.
Yuliati Umrah menambahkan, para pihak khususnya pemerintah harus terus mengedukasi masyarakat mengenai perkawinan yang berisiko, terutama bila seorang anak yang belum siap secara fisik dan mental karena belum cukup umur, dipaksakan untuk menikah.
“Mempromosikan, ini lho fakta-fakta yang dialami ketika anak-anak sudah menikah. Ada banyak hak yang hilang, dan ada banyak risiko yang muncul. Yang paling terlihat, misalnya, kasus kematian ibu melahirkan, kematian bayi saat dilahirkan,” lanjut Yuliati.
Kasus-kasus itu terjadi, kata Yuliati, karena pada usia anak-anak, tulang panggul masih rawan hingga menyulitkan kelahiran.
“Kasus bleeding atau pendarahan sangat tinggi. Angka ini yang harus terus diekspos,” tambah Yuliati.
Anis Farida menegaskan, para tokoh agama, guru, serta keluarga, memegang peranan penting dalam mencegah orang tua agar tidak menikahkan anaknya sebelum waktu dan usia yang tepat.
“Tokoh agama ya yang paling utama untuk memberikan pencerahan terkait dengan pemaknaan kapan sih usia terbaik untuk menikah,” kata Anis.
Para tokoh agama juga harus menekankan, bahwa pendidikan itu penting sehingga pernikahan bisa ditunda.
“Peran guru juga dan otomatis keluarga, supaya tidak buru-buru menikahkan anak dengan alasan ekonomi ataupun alasan agama,” tegasnya.
Revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengubah usia minimum menikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, sepertinya tidak berdampak terhadap pencegahan perkawinan anak. Hal ini karena faktor adat, tradisi dan budaya di daerah itu lebih kuat pengaruhnya untuk mendukung perkawinan anak.
Warga Dusun Sasak Sade di Lombok Tengah, masih menjalankan praktik ini, dan menganggap nilai ini masih sesuai dan dapat dipertahankan pada masa sekarang. [pr/fit]