Tidak hanya sekedar membentuk, untuk periode pertama ini, Presiden bahkan berhak menunjuk langsung lima orang anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa panitia seleksi. Dalam pertemuan dengan Jurnalis, Jumat (1/11) lalu, Presiden Jokowi menjelaskan, saat ini dirinya masih menerima masukan mengenai siapa yang pantas masuk dalam Dewan Pengawas KPK.
"Percayalah bahwa yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas yang baik," kata Jokowi.
Dalam penjelasannya di laman Sekretariat Negara, anggota Dewan Pengawas akan dilantik bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan komisioner KPK periode 2019-2023 pada Desember nanti. Menurut Presiden, sebagai lembaga negara, KPK memerlukan Dewan Pengawas. Ini menjadi kebutuhan, karena semua lembaga negara seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat bekerja dalam prinsip saling mengawasi. Keberadaan Dewan Pengawas KPK dibutuhkan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
Presiden Memutilasi KPK
Mantan Komisioner KPK, Busyro Muqoddas, Sabtu (2/11) di Yogyakarta mengatakan, apa yang terjadi saat ini membuktikan Presiden terkait dengan upaya pemberangusan KPK.
“Keputusan Presiden untuk segera menunjuk Dewan Pengawas tanpa Pansel itu menambah bukti bahwa kesan atau opini pemberangusan dengan cara mutilasi KPK itu lebih dominan dari Istana. Yang dipimpin oleh Presiden. Tentu saja, itu tidak sendiri, dia bersama-sama dengan DPR. DPR itu semua fraksi, semua parpol. Berarti elit DPP Parpol itu bermasalah berat,” kata Busyro.
Busyro memberi gambaran lebih luas terkait pendapatnya tersebut. Menurutnya, semua ini tidak terlepas dari sistem politik yang semakin korup. Politik uang pada pemilihan Presiden, pemilihan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah menjadi bukti. Apa yang terjadi pada 2014, menjadi semakin parah pada 2019. Karena semua partai dan politikus memiliki satu kepentingan, yaitu melakukan konsolidasi pendanaan untuk 2024, maka semua drama ini terjadi. Tidak mengherankan apabila semua partai dan Presiden bersepakat terhadap setiap langkah memutilasi KPK.
Salah satu yang bisa dilakukan untuk secara cepat mengumpulkan dana politik, adalah dengan berebut mengelola sumber daya alam. Untuk memuluskan semua upaya itu, segala potensi hambatan harus diminimalisir.
“Satu-satunya lembaga negara, yang dikhawatirkan dalam hitungan mereka menghambat langkah-langkah itu, adalah KPK. Maka KPK harus dimutilasi,” lanjut Busyro.
Tanpa Pansel, Dewan Pengawas Diragukan
Aktivis dan peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menilai, aturan pembentukan Dewan Pengawas berpotensi menimbulkan masalah. Karena pada periode pertama Dewan Pengawas tanpa panitia seleksi, maka pemilihannya akan benar-benar sesuai selera subyektif Presiden. Herdiansyah khawatir, subyektivitas Presiden akan bermakna pilihan sesuai selera politik di lingkaran kekuasaan.
Dalam periode lanjutan, Dewan Pengawas memang akan dipilih melalui panitia seleksi. Namun karena sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden, proses ini berpotensi menjadi bumerang di masa depan.
“Kalau misalnya Presiden berganti, dan karena itu sesuai selera, bisa jadi yang kemudian ditempatkan di dalam Dewan Pengawas adalah orang-orang yang tidak punya kapasitas. Bisa jadi justru orang-orang yang selama ini berteriak bubarkan KPK. Bagaimana kalau misalnya Fahri Hamzah ditempatkan di situ? Itu kan jadi persoalan baru,” lanjut Herdiansyah.
Jika mau ideal, Presiden Jokowi harus menempatkan nama-nama yang dipercaya publik sebagai anggota Dewan Pengawas. Herdiansyah menyebut Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Laode M Syarif dan Agus Raharjo adalah beberapa diantaranya yang bisa dipilih. Tokoh-tokoh tersebut dinilainya akan bisa bekerja mengawasi komisioner baru yang akan dilantik Desember mendatang.
Apakah mungkin Jokowi akan memenuhi janjinya membentuk Dewan Pengawas yang ideal? Herdiansyah mengaku ragu.
Beberapa waktu lalu, Jokowi mengundang puluhan tokoh bangsa ke Istana. Di akhir pertemuan, Presiden mengaku Perppu KPK merupakan aspirasi masyarakat yang akan dipertimbangkan untuk diterbitkan. Namun, hingga hari ini, ucapan Jokowi itu tidak menjadi kenyataan.
Begitupun, ketika Jumat lalu Jokowi berjanji akan mengisi Dewan Pengawas dengan orang-orang yang memiliki kredibilitas baik, Hendriansyah meragukan komitmen tersebut. Jokowi tidak akan bisa menghindari dari partai politik dalam persoalan ini. Karena itu, penyusunan Dewan Pengawas KPK bukanlah proses independen Presiden. Partai politik akan bernegosiasi untuk mengambil peran dalam proses itu. Dewan Pengawas ideal yang dicita-citakan terancam berhenti menjadi janji saja.
Dewan Pengawas Tidak di Bawah Presiden
YhannuSetyawan, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung berpendapat, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan kehadiran Dewan Pengawas KPK. Penilaian itu, kata Yhannu berangkat dari konsep keseimbangan, dan bahwa tidak ada dominasi antar lembaga di sebuah negara.
Dalam format dasar, kata Yhannu, dikenal lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada perkembangannya, lahirlah lembaga negara bantu yang disebut juga stateauxiliaryagency. Kehadiran lembaga bantu ini untuk mengimbangi lembaga-lembaga negara utama dalam bekerja, agar lebih optimal.
KPK adalah salah satu state auxiliary agency yang selama ini dinilai tidak memiliki pengawas karena terpisah dari infrastruktur negara. Karena itulah, kebutuhan akan Dewan Pengawas KPK muncul, dan dewan ini berada di dalam lembaga itu sendiri. Tujuannya, adalah memberikan pengawasan sebagai pelaksanaan prinsip, bahwa setiap lembaga harus diawasi kinerjanya.
“Kekhawatiran perlu, tetapi penolakan terhadap gagasan itu menurut saya terlalu jauh. Dicoba saja dulu, diuji dulu. Kita sedang melakukan proses penataan kelembagaan negara. Kita belum bisa menyatakan bahwa yang paling maksimal, yang paling baik adalah model A,” kata Yhannu.
Yhannu menilai, tanpa lembaga pengawas, para komisioner di lembaga manapun dalam penggunaan otoritasnya tidak dapat dikontrol. Padahal, setiap lembaga harus menerima perlakuan yang sama.
“Di lingkungan Mahkamah Agung, ada Komisi Yudisial. Di lingkungan Kejaksaan, ada Komisi Kejaksaan. Nah, di KPK ini ada Dewan Pengawas KPK,” lanjutnya.
Mengenai ketentuan bahwa Dewan Pengawas dibentuk sepenuhnya oleh Presiden, Yhannu menggarisbawahi posisi Jokowi dalam proses ini adalah sebagai kepala negara. Kedudukan itu memberi ruang baginya. Apalagi, setelah Dewan Pengawas terbentuk, lembaga ini tidak perlu memberikan laporan kerja kepada presiden.
“Jadi kontrol terhadap Dewan Pengawas ini tidak bisa lagi dilakukan oleh Presiden. Kontrolnya justru di internal. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran karena Dewan Pengawas tidak melapor kepada Presiden. Dewan Pengawas bukan di bawah presiden, meskipun dibentuk presiden sebagai kepala negara,” tambahnya.
Semua pihak harus menanti, kata Yhannu, karena dia yakin Dewan Pengawas adalah bagian dari pelaksanaan janji Jokowi untuk penguatan KPK. Dia juga berharap, lembaga itu diisi ahli dari berbagai latar belakang, seperti pegiat organisasi sipil, akademisi dan profesional.
Sesuai UU 19 tahun 2019, tugas Dewan Pengawas ada enam. Pertama, mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Ketiga, menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Keempat, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang. Kelima, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Keenam, melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun. [ns/ab]