Indonesia akan kembali melangsungkan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2020. Pemilihan tersebut akan berlangsung di 270 daerah, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Sembilan provinsi yang akan melaksanakan pemilihan gubernur meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah.Terdapat dua provinsi yang seluruh daerah kabupaten/kotanya tidak melaksanakan pemilihan pada 2020 mendatang, yaitu Provinsi Aceh dan DKI Jakarta.
Pada pemilihan kepala daerah tahun depan tersebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana akan melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri. KPU memasukan hal tersebut ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Rekam Jejak Bersih
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan lembaganya ingin menghasilkan kepala daerah dengan rekam jejak yang bersih. Lembaganya lanjut Arief juga ingin menyaring calon-calon terbaik yang nantinya dipilih masyarakat.
Lembaganya, kata Arief, menemukan fakta baru terkait fenomena kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Di antaranya, terdapat calon kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan kemudian ditahan tetapi masih terpilih. Contohnya, seperti yang terjadi pada pemilihan bupati Tulungagung, Jawa Timur dan pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Selain itu, terdapat argumentasi jika seseorang yang sudah ditahan atau telah menjalani hukuman atau tobat tidak akan melakukan korupsi lagi. Namun, faktanya tidak demikian. Seperti yang terjadi pada Bupati Kudus Muhammad Tamzil.
“Pemilihan kepala daerah nanti yang terpilih satu orang yang dia akan menjadi pemimpin di wilayah tersebut . Nah satu orang ini harapan kita dicari orang yang betul-betul terbaik karena dia harus menjadi contoh bukan sekedar dia mampu melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya tetapi dia juga diharapkan menjadi contoh,” kata Arief.
Menurut Arief, karena belum ada rencana revisi Undang-undang Pilkada, maka pihaknya memasukkan larangan koruptor ikut pilkada 2020 dalam PKPU. Saat ini PKPU sedang dibahas bersama Komisi II DPR.
Selain pelarangan keikutsertaan mantan kasus korupsi dalam pilkada, KPU juga melarang terpidana narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Selain mengatur tentang latar belakang calon, rancangan PKPU juga mengatur pencalonan perseorangan. Pelarangan koruptor seperti ini juga pernah dibuat oleh KPU pada pemilu 2019 tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA)
Langkah KPU Disambut Positif
Peneliti Hukum dan Kebijakan dari Transparency International Indonesia Reza Syawawi menilai langkah KPU itu sebagai bentuk progresifitas dalam merespon situasi terkini terkait dengan korupsi khususnya.
Menurutnya saat ini masih minim hukuman atau sanksi terkait dengan pencabutan hak politik untuk pejabat politik yang melakukan korupsi
Pelarangan keikutsertaan koruptor seperti itu juga pernah dilakukan oleh KPU pada pemilihan legislatif 2019 tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung . Salah satu alasan MA adalah hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di bidang politik yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28 UUD 1945.
“Tapi kemudian kita bisa melihat hasilnya misalnya hampir sebagian partai politik tidak mengajukan mantan terpidana korupsi khususnya sebagai calon. Saya kira secara kampanye publik jadi berhasil, di luar perdebatan apakah ini konstitusional atau tidak. Semangat itu yang mau diteruskan kalau saya melihat, ujar Reza.
Anggota Komisi II DPR Johan Budi menyatakan setuju dengan memasukan bahwa mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan sebagai kepala daerah karena pemimpin harusnya tidak cacat moral. Hal tersebut kata Johan bisa menjadi efek jera.
“Efek jera bagi siapa saja karena itu jangan coba-coba korupsi karena kalau korupsi menjadi tidak bisa mencalonkan lagi,” ungkap Johan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian belum mau mengambil sikap soal rancangan Peraturan KPU tentang larangan mantan koruptor maju dalam Pilkada 2020. Tito ingin mendengar aspirasi publik terlebih dahulu mengenai wacana itu. [fw/em]