Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengakui baru akan merasakan surplus di tahun 2021 mendatang walaupun iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) naik di tahun depan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan surplus kenaikan iuran di 2020 digunakan untuk menambal defisit di tahun 2019.
“Tahun 2020 itu enggak lagi, sudah surplus tapi surplusnya untuk menutup defisit yang ter-carry over di tahun 2019,” ungkapnya di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta (19/11).
Senada dengan Fachmi, Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mundiharno mengatakan keuangan BPJS Kesehatan akan mengalami keuntungan di tahun 2021. Meski tidak menjabarkan berapa defisit yang akan berkurang, namun ia memastikan dengan kenaikan iuran tersebut, desifit akan sangat turun secara signifikan.
“Kalau estimasi kita, untuk tahun ini memang defisit belum bisa diselesaikan sepenuhnya dengan kenaikan iuran, dan ada yang ter-carry over di tahun 2020. Nah, di tahun 2020 kemungkinan masih, tetapi bisa jauh lebih berkurang dan Insya Allah manageable, tahun 2021 Insya Allah sudah mulai postif keuangan BPJS,” jelas Mundiharno.
Sementara itu, untuk mengantisipasi penurunan kelas BPJS Kesehatan sebagai imbas dari kenaikan iuran, pihaknya akan melakukan pengecekan di lapangan untuk mengetahui hal tersebut. Namun ia memastikan bahwa walaupun banyak yang melakukan penurunan kelas, pelayanan kepada masyarakat tetap tidak akan terganggu.
“Untuk mencoba mengkalibrasi angka elastisitas pemintaan terhadap penurunan, terkait kenaikan iuran tadi, kita akan melakukan cek, berapa kira-kira yang beralih, sehingga prediksi terhadap penurunan kelas, itu bisa lebih aktual, tapi dari sisi pelayanan kita sudah sepakat bahwa memang kita membuka dan sedapat mungkin mempermudah kalau ada peserta yang akan melakukan pindah kelas, kita akan perbaiki sehingga masyarakat punya pilihan,” paparnya.
BPJS Kesehatan Segera Bayar Utang ke RS
Sementara itu, Fachmi juga mengatakan bahwa BPJS Kesehatan akan segera membayar tunggakan utang yang belum dibayarkan kepada sejumlah Rumah Sakit (RS). Adapun jumlah utang BPJS Kesehatan kepada RS sampai akhir September 2019 adalah sebesar Rp17 triliun. Ia mengatakan bahwa pada Jumat (22/11), pihaknya akan mulai membayarkan utangnya kepada RS secara bertahap setelah menerima suntikan dana tahap pertama dari pemerintah untuk menutupi defisit tahun ini.
Fachmi menjelaskan, pada tahap awal tersebut pemerintah akan membayarkan selisih untuk kenaikan iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat sekitar Rp9 triliun. Uang selisih pembayaran PBI Pemerintah pusat tersebut akan digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk mulai mencicil tunggakan utang kepada RS.
“Jadi, Jumat, Insya Allah akan masuk kurang lebih Rp9,13 triliun itu akan langsung didistribusikan ke RS, artinya Jumat siang sudah mulai ada rumah sakit yang menerima, tapi paling lambat Senin sudah terdistribusi. Kemudian setelah itu kita akan bicara lagi, menentukan tanggal berapa yang akan cair tahap kedua, kemudian pencairan tahap ke-3. Intinya kita ingin bahwa kalaupun ada gagal bayar, itu untuk RS masih manageable dengan skema SCF yang saat ini masih kita gunakan, sehingga tahun 2021 kita perhitungan aktuaria itu akan mengalami surplus yang bisa menutup defisit carry over di tahun 2019 ini,” jelas Fachmi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Pusat Kuntjoro Adi Purjanto berharap rumah sakit yang memiliki kontrak dengan BPJS Kesehatan tidak bergantung pendapatannya kepada BPJS Kesehatan. Rumah Sakit, kata Kuntjoro, diharapkan bisa memiliki inovasi baru sehingga bisa mendapatkan sumber penghasilan yang lebih luas lagi.
“Dan satu hal yang menjadi perhatian kita semua, saya berharap RS yang melakukan kontrak, dengan BPJS tidak sangat tergantung pendapatannya dari BPJ. RS Indonesia harus mempunyai inovasi agar pembiayaannya bisa didapatkan bukan hanya dari pasien BPJS saja,” jelas Kuntjoro.
Ditambahkannya, walaupun BPJS Kesehatan menunggak utang kepada RS, hingga saat ini belum berpengaruh terhadap pelayanan kepada pasien. Namun ia berharap utang tersebut agar segera dibayarkan karena kalau semakin berlarut-larut maka bisa menimbulkan permasalahan.
“Sampai saat ini, Insya Allah tidak. Tapi kalau masih berpanjang-panjang tentu akan jadi masalah. Cashflow-nya untuk sementara ini pake SCF tapi ada beberapa rumah sakit yang oleh pemiliknya dibantu, seperti RS Pendidikan Perguruan tinggi, rektornya bantu dulu. Pemdanya bantu dulu, tapi tentunya kebih banyak yang tidak, mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi semacam itu, karena cash flow rumah sakit akan mulai terganggu setelah 2,5 bulan modalnya habis. Jadi kalau dia punya 2,5 bulan modal, rata-rata tidak akan mengurangi sesuatu yang seharusnya,” ungkap Kuntjoro.
Tingkatkan Pelayanan, BPJS Kesehatan dan PERSI Sepakati Tiga Komitmen
Di sisi lain, BPJS Kesehatan dan PERSI berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan RS seiring dengan adanya kenaikan iuran JKN-KIS tersebut. Adapun komitmen pertama yang telah disepakati adalah seluruh RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus memiliki sistem antrian elektronik yang dapat memberikan kepastian waktu layanan. Awal pelaksanaan Program JKN-KIS tahun 2014, hampir tidak ada RS yang memiliki sistem antrian online tersebut. Tahun 2018, sudah maju dengan adanya 944 RS (42,7 persen) antrian online. Oleh karena itu, komitmen yang disepakati BPJS Kesehatan dengan PERSI adalah di tahun 2019 bahwa seluruh RS anggota PERSI yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan diimbau memiliki sistem antrian elektronik.
“Ini dimaksudkan agar rumah sakit mampu memberikan kepastian waktu layanan bagi pasien JKN-KIS. Dengan begitu, tidak terjadi penumpukan pasien JKN-KIS yang hendak mengakses layanan di rumah sakit,” ungkap Fachmi.
Komitmen kedua, lanjut Fachmi adalah seluruh rumah sakit yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan diimbau menyediakan informasi display ketersediaan tempat tidur perawatan, baik di ruang perawatan biasa maupun intensif, yang dapat diakses oleh peserta JKN-KIS.
Komitmen ketiga yang disepakati adalah pasien gagal ginjal kronis yang rutin mendapatkan layanan cuci darah (hemodialysis) di rumah sakit dan sudah terdaftar dengan menggunakan sidik jari (finger print), tidak perlu lagi membawa surat rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini diharapkan mempermudah pasien JKN-KIS mengakses layanan cuci darah tanpa repot-repot lagi mengurus surat rujukan dari FKTP yang harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali.
Dengan ketiga komitmen ini, Kuntjoro berharap BPJS Kesehatan menjalankan kerja sama yang lebih terkoordinir dengan badan dan lembaga penjamin lainnya.
“Ini supaya lebih memudahkan RS fokus memberikan layanan kepada pasien, tanpa banyak tersita perhatiannya ke soal terkait administrasi penjaminan. Di sisi lain, kami juga berharap BPJS Kesehatan mengembangkan upaya yang membantu agar pelayanan di RS berjalan dengan lancar,” tambah Kuntjoro. [gi/em]