Kebakaran yang melanda hutan Kalimantan setiap tahunnya ternyata tidak hanya merusak habitat orangutan, tapi juga mengubah kondisi biologis dan perilaku orangutan. Itulah hasil studi baru yang dilakukan Universitas Rutgers, New Jersey, dan Universitas Nasional, Jakarta, dan dirilis Januari 2020.
Studi ini memang masih studi pendahuluan. Namun, para peneliti yang terlibat meyakini, kebakaran menimbulkan dampak kesehatan yang berarti dan bertahan lama terhadap orangutan.
Doktor Sri Suci Utami Atmoko, pakar prilaku dan ekologi orangutan dari Universitas Nasional terlibat dalam studi itu. Ia mengatakan, studi tersebut mendapati, kebakaran telah menyebabkan orangutan mengurangi aktivitas geraknya untuk membatasi pengeluaran energi. Perubahan perilaku ini terjadi, katanya, karena kebakaran mengakibatkan kerusakan metabolisme sehingga tubuh orangutan terjerumus ke dalam starvation mode.
Starvation mode pada intinya adalah kondisi di mana tubuh secara alami menahan pengeluaran energi, mengalami peningkatan stres dan merasakan kelaparan. Kondisi ini umumnya terjadi akibat keterbatasan asupan kalori dalam jangka panjang. Pada beberapa kasus, karena begitu kelaparannya, sejumlah orangutan kehilangan massa ototnya. Tidak hanya itu, asap kebakaran juga melemahkan sistem kekebalan tuhuh orangutan.
Menurut Suci, orangutan di Kalimantan terjerumus pada starvation mode karena menurunnya ketersediaan buah, dedaunan, bunga selama musim kebakaran. Kurangnya suplai makanan pokok, terutama buah, ini memaksa orangutan untuk memakan kulit pohon – sesuatu yang jarang dilakukan monyet besar ini.
“Kulit kayu itu makanan alternatif orangutan. Sayangnya kulit kayu itu rendah nutrisi. Selain itu, tidak memudah memakan kulit kayu. Orangutan harus merobeknya, dan ini memerlukan banyak energi,” jelasnya.
Para periset mengukuhkan perubahan kondisi metabolisme orangutan setelah mendeteksi adanya peningkatan berarti kadar senyawa ketone pada urin hewan itu. Kadar ketone yang meningkat mengisyaratkan bahwa tubuh mengalami asupan glukosa yang rendah sehingga terpaksa membakar lemak. Pada sejumlah kasus, karena begitu rendahnya asupan, tubuh bisa kehilangan masa ototnya.
Menurut Dr Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival, sebuah lembaga nirlaba yang mengembangkan program rehabilitasi dan reintroduksi bagi orangutan akibat dampak kerusakan hutan masif di Kalimantan, hasil penelitian itu meningkatkan kekhawatiran akan nasib orangutan.
“Ini sangat menakutkan. Kalau orang ternacam karena tidak ada makanan, mereka akan berkelahi. Akan terjadi pergesekan di antara orangutan. Pertama, habitat mereka mengecil, dan kedua karena kelangkaan makanan. Ini menyebabkan orangutan yang sudah terancam akan semakin terancam. Kebakaran hutan ini harus dikendalikan,” jelas Jamartin.
Studi Universitas Rutgers Universitas Nasional terfokus pada orangutan khas Kalimantan, atau bornean orangutan (Pongo pygmaeus), di stasiun riset Tuanan yang terletak di kawasan konservasi Mawas. Di kawasan konservasi ini terdapat sekitar 3.500 monyet besar ini. Pada 2015, sekitar 90 hektar hutan gambut di mana orangutan hidup, terbakar. Pada 2019, situasinya lebih parah di mana 160 hektar hutan gambut terbakar.
Suci mengatakan, studi ini masih perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut. Namun ia mengingatkan, orangutan saat ini sudah terdaftar sebagai spesies yang terancam punah dalam waktu dekat (critically endangered) akibat penyusutan habitat dan pembangunan perkebunan skala besar. Dampak kesehatan akibat kebakaran hutan katanya bisa mempercepat laju kepunahan itu.
Proyeksi lembaga-lembaga advokasi orangutan, termasuk BOS, menyebutkan jumlah orangutan di Kalimantan akan turun sebesar 20 persen menjelang tahun 2025, menjadi sekitar 47.000. [ab/uh]