Puluhan ribu pekerja di Tokyo dilanda keresahan dan kebingungan. Rabu (8/4) merupakan hari pertama pemerintah Tokyo memberlakukan keadaan darurat untuk mengendalikan wabah virus corona, namun jalan-jalan terlihat ramai dan kereta-kereta komuter penuh sesak penumpang.
Menurut pemantauan Reuters, pemandangan itu sangat berbeda dengan berbagai wilayah lain di dunia yang memberlakukan lockdown. Pihak berwenang Tokyo tidak memberlakukan denda dan dalam banyak kasus, tidak mengharuskan orang-orang tinggal di rumah dan menutup bisnis-bisnis yang tidak esensial.
Banyak pekerja mengaku resah karena mereka harus memenuhi panggilan tugas, namun sering terpaksa berada dalam keramaian, dan berisiko tertular virus corona.
Jepang, yang memiliki 4.472 kasus dan 80 kematian, memang tidak mengalami perebakan hebat wabah virus corona. Namun, pertambahan kasus yang terjadi terus menerus mendorong PM Shinzo Abe mendeklarasikan keadaan darurat di Tokyo, Osaka dan lima prefektur lain yang parah dilanda wabah itu.
Deklarasi keadaan darurat selama sebulan itu memberi gubernur-gubernur wewenang lebih besar untuk mendesak bisnis-bisnis agar tutup tapi tak bisa dipungkiri, akan menambah penderitaan yang dialami ekonomi terbesar ketiga di dunia tersebut akibat wabah virus corona. Tanpa pemberlakuan keadaan darurat, Jepang sudah terpukul oleh gangguan jaringan suplai dan pemberlakuan larangan perjalanan yang diberlakukan banyak negara terkait virus tersebut.
Karena pertimbangan ekonomi itu, Jepang tidak memberlakukan pembatasan kegiatan sepenuhnya. Di Shinjuku, Shibuya dan Tokyo, banyak pekerja masih menjalankan tugas mereka seperti biasanya.
Abe mengatakan, ia berusaha mengurangi 70-80 persen kontak langsung antar orang-orang di Jepang. Namun, perusahaan-perusahaan umumnya hanya mengurangi jumlah pegawainya yang aktif bekerja di kantor hingga setengahnya. Karena longgarnya peraturan itu, banyak orang yang mengabaikan anjuran untuk tinggal di rumah. [ab/uh]