Masih ingat kasus yang menimpa WA?. Gadis berusia 15 tahun itu dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, di Jambi karena menggugurkan kandungannya hasil perkosaan abang kandungnya sendiri.
Media dalam dan luar negeri menyoroti kasus pedih itu, terlebih setelah sejumlah organisasi masyarakat dan pakar hukum menyampaikan amicus curiae atau "sahabat peradilan" pada proses persidangan.
Amicus curiae atau “sahabat peradilan” juga dikirim koalisi LSM dan warga masyarakat dalam kasus tuduhan penodaan agama oleh Meiliana, perempuan keturunan Tionghoa yang pada 2016. Kasus bermula ketika Meiliana mengeluhkan volume pengeras suara azan di Tanjung Balai dan memicu kerusuhan rasial. Dalam persidangan dia dijatuhi vonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 2018.
Juga pada kasus Baiq Nuril. Perempuan asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu mengalami pelecehan seksual dari atasannya saat ia bekerja sebagai pegawai honorer di salah satu sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada 2012. Baiq melaporkan kasus pelechan itu. Namun Mahkamah Agung pada 2019 malah memutus Baig bersalah karena menyebarkan rekaman berisi kesusilaan.
Amicus Curiae Relevan Digunakan
Pengajar Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Miko Susanto Ginting, mengatakan amicus curiae telah banyak dipraktikan dalam peradilan di Indonesia, meski tidak semua pendapat yang diberikan diakomodir atau dipakai sebagai pandangan hakim.
Dalam semua kasus, Miko menyebut amicus curiae relevan digunakan dengan menekankan pada isi persoalan sosial yang ingin diangkat. Respon peradilan atau hakim menjadi poin yang sangat penting, agar putusan yang diambil didasari atas pertimbangan yang jernih dari suatu masalah.
“Yang perlu dilihat dalam konteks amicus curiae itu memang ingin mengeluarkan pengadilan dari kondisi yang terisolasi, tapi juga menempatkan pengadilan untuk merespon persoalan-persoalan sosial. Dalam kasus-kasus privat bisa jadi ada persoalan sosial yang juga timbul,” kata Miko Susanto Ginting.
Belum Diatur
Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Tristam Pascal Moeliono, mengatakan bahwa amicus curiae sampai saat ini belum diatur dalam hukum nasional Indonesia.
Amicus curiae, kata Tristam, sering kali terbentur pada kebebasan hakim dalam memahami dan memutus suatu perkara.
“Bagaimana hukum nasional Indonesia belum ada aturan, tapi ini juga akan terbentur pada bagaimana hakim memahami kebebasan hakim dalam memutus perkara di Indonesia, berdasarkan keyakinan hati nurani, hukum progresif, judisial activism, tidak terikat pada preseden, maka juga bisa ditafsirkan secara negatif," papar Tristam Pascal Moeliono.
"Juga tidak akan terikat pada amicus curiae, boleh mengabaikan, atau justru karena progresif bisa memperhatikan dan mempertimbangkan. Ini tergantung sikap dari pengadilan,” imbuhnya.
Legal Standing Amicus Curiae
Kepala Biro Humas Mahkamah Agung RI, Abdullah, mempertanyakan status legal standing dari amicus curiae bila dimasukkan dalam suatu perkara di pengadilan.
Menurutnya, masuknya amicus curiae justru akan menambah pihak yang berperkara, serta menambah kecurigaan masyarakat terhadap lembaga peradilan karena pihak lain yang masuk dapat dicurigai memiliki kepentingan atas suatu perkara.
Abdullah menilai, amicus curiae belum perlu dimasukkan dalam sistem peradilan Indonesia, agar tidak menjadi intervensi terhadap hakim yang kekuasaan kehakimannya telah diatur dalam Undang-undang.
“Kalau dalam hukum acara, adalah orang yang berkepentingan. Sedangkan amicus curiae ini, bagaimana bisa membuktikan bahwa dia itu tidak berkepentingan. Jangan-jangan juga kepentingan tertentu dilewatkan sana," ujar Abdullah.
Karena penegakan hukum di Indonesia masih belum seperti di negara-negara maju, imbuhnya, kecurigaan masyarakat terhadap pengadilan masih tinggi.
"Nah, pengadilan sekarang sedang meningkatkan imparsialitasnya, sehingga semua orang yang tidak berkepentingan seharusnya tahu diri, tidak perlu masuk,” ujarnya.
Perlu Kajian
Kepala Bidang Perencanaan Legislasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Tongam R Silaban, menilai perlu ada kajian lebih mendalam terkait perlu tidaknya pengaturan amicus curiae dalam sistem peradilan.
Hal-hal yang ingin dikaji, misalnya, apakah amicus curiae di luar pihak yang berkepentingan. Padahal hukum Indonesia cenderung berpihak kepada yang memiliki kepentingan.
"Jadi banyak hal yang mungkin berkembang nanti yang harus kita lihat sehingga jangan terburu-buru untuk memikirkan apakah perlu diatur atau tidak. Kami tetap berpandangan, kita harus jeli semua persoalannya, termasuk dampaknya nanti, baru kita berpikir perlu tidaknya diatur,” ucap Tongam R Silaban. [pr/em]