“Bubar ini, tutup warungnya, ini bulan puasa...”
“Pak, saya orang sini, saya sudah pasang tirai... Jika aku harus tutup siapa yang kasih aku makan, bisa Bapak kasih aku makan?”
“Saya tidak larang kakak jualan, tapi jangan saat bulan puasa...”
Inilah sekelumit keributan yang terjadi akhir April lalu ketika warung kopi milik seorang warga di Batang Kuis, Deli Serdang, diserbu sekelompok massa yang memaksa agar warung itu ditutup dengan alasan “menghormati orang yang berpuasa.” Perselisihan ini berujung ke meja hukum.
Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama seperti ini menjadi salah satu fokus perhatian dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Komisi Urusan Kebebasan Beragama Internasional (United States Commission on International Religious Freedom/USCIRF) pekan lalu.
USCIRF adalah badan independen yang dibentuk oleh Kongres Amerika untuk memonitor, menganalisa dan melaporkan ancaman terhadap kebebasan beragama di luar negeri. Hasil kerja USCIRF menjadi rekomendasi kebijakan luar negeri yang disampaikan pada Presiden AS, Menteri Luar Negeri dan Kongres untuk mengatasi persekusi agama dan mendorong kebebasan beragama.
Khusus tentang Indonesia, USCIRF menilai dibanding tahun lalu, ada tren negatif dalam kondisi kebebasan beragama di Indonesia. Laporan itu mencatat banyaknya insiden intolerasi beragama di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta, baik dalam bentuk diskriminasi, ujaran kebencian, tindakan kekerasan dan penolakan izin untuk membangun rumah ibadah bagi kelompok agama minoritas. Masih terus digunakannya pasal penistaan agama menjadi keprihatinan tersendiri.
Laporan tahunan itu menyoroti beberapa kasus, antara lain keputusan Mahkamah Agung pada April 2019 yang menolak permohonan banding Meliana, seorang perempuan keturunan Tionghoa beragama Budha yang mengeluhkan volume pengeras suara azan dan divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada Agustus 2018. Meliana dibebaskan sebulan lewat pembebasan bersyarat.
Juga insiden demonstrasi dan niatan jihad yang disampaikan kelompok Islam garis keras pada Mei 2019 terhadap rencana membangun sebuah kuil Hindu di Bekasi, insiden pembatalan izin pendirian.
Gereja Pantekosta di Bantul-Yogyakarta pada Juli 2019 setelah pihak berwenang menerima ancaman dari sekelompok orang, dan perselisihan seputar izin untuk mendirikan Gereja GKI Yasmin di Bogor yang tak kunjung selesai meskipun sudah dijanjikan oleh sejumlah pejabat sejak 2008.
Daftar Pengawasan Khusus
USCIRF merekomendasikan kepada Departemen Luar Negeri untuk memasukkan Indonesia dalam Daftar Pengawasan Khusus karena dinilai “terlibat dalam atau mentoleransi pelanggaran berat kebebasan agama yang bertentangan dengan UU Kebebasan Beragama Internasional IRFA.”
USCIRF juga mendorong pemerintah Indonesia untuk merevisi rancangan KUHPidana agar menghapus sanksi pidana dalam pasal penistaan agama, serta mencabut atau mengubah pasal tentang penistaan agama yang ada dan membebaskan mereka yang saat ini ditahan karena tuduhan penistaan agama.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai laporan tahunan itu dan rekomendasi untuk memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang diawasi sebagai terlalu berlebihan dan terlalu jauh. Apalagi, imbuh Mu’ti, tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki kasus pelanggaran dan kekerasan keagamaan.
“Tetapi lepas dari kasus-kasus yang ada saat ini, Indonesia adalah negara dengan tingkat kerukunan dan toleransi yang sangat tinggi. Bahkan seringkali menjadi model bagaimana mengelola keragaman dan mempertahankan kerukunan,” ujar Abdul Mu’ti
Meski Mu’ti mengaku memang masih ada kekerasan dan persoalan di antara umat beragama, tetapi dia mengimbau untuk melihatnya secara obyektif.
Lebih jauh Abdul Mu'ti yang aktif sebagai penggiat kebebasan beragama dalam beberapa organisasi antar-keyakinan mengatakan tidak menafikan adanya persoalan, tetapi meminta agar kajian dilakukan secara komprehensif.
“Sekali lagi kami tidak menafikan adanya masalah, tapi jangan dibesar-besarkan. Lihatnya harus komprehensif. Tidak bisa hitam putih. Satu kelompok intoleran, lalu yang lainnya pasti toleran. Tidak bisa begitu,” tutur Abdul Mu’ti.
Masalah antar-keyakinan di Indonesia, menurut Abdul Mu’ti, juga tidak sebesar dan separah yang dilaporkan Deplu AS hingga Indonesia perlu mendapat pengawasan khusus. Selain itu, imbuhnya, semua agama di Indonesia juga mengalami ketegangan-ketegangan internal, meski hal itu tidak muncul ke permukaan.
Motif kekerasan antara kelompok agama yang berbeda juga tidak selalu karena faktor agama, ujarnya. Penolakan bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti faktor politik dan personal.
“Malah kalau kasus personal, penolakan tidak ada hubungan dengan politik dan agama, hanya karena kasusnya melibatkan pelaku dan korban dengan latar agama berbeda, maka kasusnya dianggap sebagai persoalan karena agama,” kata Abdul Mu’ti.
Oleh karena itu, imbuhnya, faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dan kesimpulannya diambil dengan sangat hati-hati.
Mu'ti mencatat kasus intoleransi terhadap warga Muslim yang juga dilaporkan terjadi di Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Sulawesi Utara. Di daerah-daerah tersebut, warga Muslim merupakan kelompok minoritas.
“Sayangnya ini tidak dicatat USCIRF,” ujarnya.
Anggota DPR Nilai Laporan USCIRF Berharga
Namun Bobby Adhityo Rizaldi, anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar, menilai laporan tahunan USCIRF dapat mendorong semua pihak menjadi mawas diri sehingga bisa mengidentifikasi bagaimana cara menurunkan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama.
“Jadi kita bisa cari formulanya, apakah ada regulasi yang kurang atau harus direvisi, atau masalah penegakan hukum, atau memang perlu ada pendidikan literasi kebebasan beragama di ranah publik yang didukung lebih banyak tokoh agama. Saya kira ini masukan berharga,” kata Bobby.
Meskipun demikian Bobby tidak setuju dengan seruan agar Indonesia merevisi hukuman pidana bagi mereka yang melanggar pasal penistaan agama, atau mencabut pasal karet itu. Alasan Bobby, kebebasan memeluk agama dalam konteks kehidupan bernegara, harus sesuai dengan agama yang diakui negara.
“Apa yang disebut sebagai penistaan kan dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, dan hal ini berkembang. Dalam cakupan legislasi, ini memang masih sangat cair. Tapi pasal penistaan itu, menurut saya, tetap harus ada karena kita tidak bisa menafikan hal ini,” tegasnya.
Laporan ini juga menyoroti beberapa isu lain di Indonesia, antara lain : pemberlakuan hukum Islam di Aceh serta nasib kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah, Gafatar dan Syiah.
14 Negara, 6 Aktor Non-Negara
Laporan tahunan yang dikeluarkan 28 April lalu tidak hanya mencatat sejumlah kemajuan signifikan, seperti yang terjadi di Sudan, tetapi juga penurunan tajam kebebasan beragama, sebagaimana halnya yang terjadi di India.
USCIRF tahun ini merekomendasikan kepada Departemen Luar Negeri untuk mengkategorikan 14 negara sebagai “negara dengan keprihatinan khusus” karena pemerintahnya terlibat atau mentoleransi “pelanggaran mengerikan yang sistematis dan berkelanjutan.
Di antara negara-negara itu adalah sembilan negara yang sudah masuk dalam kategori ini pada 2019 lalu yaitu Myanmar, China, Eritrea, Iran, Korea Utara, Pakistan, Arab Saudi, Tajikistan dan Turkmenistan dan lima tambahan negara baru, yaitu India, Nigeria, Rusia, Suriah dan Vietnam.
USCIRF juga merekomendasikan kepada Deplu AS untuk memasukkan enam aktor non-negara sebagai “entitas dengan keprihatinan khusus” karena pelanggaran mengerikan yang sistematis dan berkelanjutan. Lima di antaranya sudah dimasukkan lebih dulu, yaitu Al Shabab di Somalia, Boko Haram di Nigeria, Houthi di Yaman, Negara Islam di Provinsi Khorasan di Afghanistan, dan Taliban di Afghanistan. Tahun ini ditambah satu lagi yaitu Hay'at Tahrir Al Shahm di Suriah. [em/pp/ft]