Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah memberikan peringatan potensi kekeringan dunia termasuk di sebagian wilayah Indonesia pada 2020. Secara global kekeringan itu dikhawatirkan menimbulkan krisis pangan dunia.
“FAO juga memberikan guidance [pedoman.red] kita bahwa kekeringan akan menembus Indonesia dan kurang lebih 30 persen akan kering habis seperti yang terjadi di Africa, di India maupun di Thailand, Vietnam. Yang kedua akan terjadi krisis pangan dunia. Kalau begitu kita tidak boleh andalkan impor, harus diupayakan sendiri apa yang ada” jelas Syarul dalam diskusi virtual bertema "Stok Beras di Masa Pandemi dan Setelahnya" (19/5)
Dia menjelaskan berdasarkan prediksi BMKG, kekeringan di sejumlah wilayah yang menjadi penghasil beras di Indonesia itu berpeluang terjadi di Mei hingga Oktober nanti. “Kemudian Agustus akan sangat keras kekeringan di Indonesia dan itu setengah Sumatera, seluruh Pulau Jawa sampai NTT kemudian, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,” ungkap Syahrul Yasin Limpo.
Mengantisipasi kekeringan yang dapat mengganggu capaian target produksi 15 juta ton beras pada periode Juli hingga Desember, Kementan berencana mengoptimalisasi lahan rawa gambut seluas 164 ribu hektar yang terdapat di Kalimantan Tengah dan 235 ribu hektare di Sumatera Selatan.
Menurut Syahrul Yasin Limpo, meskipun upaya serupa pernah dilakukan di masa lalu dan tidak berhasil, tapi berkat dukungan teknologi, mekanisasi pertanian dan dukungan masyarakat di daerah tersebut, maka optimalisasi lahan rawa gambut itu tetap mungkin dilakukan.
“Musim kering itu, tanah yang masih tersisa air itu adalah di rawa. Tentu saja rawa gambut atau rawa mineral dengan kedalaman air tidak boleh lebih dari satu meter. Ini juga mencarinya harus dengan citra satelit,” ujar Syahrul Yasin Limpo optimis.
Menurutnya, agenda optimalisasi lahan rawa itu tinggal menunggu persetujuan Presiden Jokowi.
IPB Sarankan Intensifikasi Lahan di Pulau Jawa
Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai rencana optimalisasi lahan rawa gambut oleh Kementerian Pertanian itu perlu mempertimbangkan kelayakan ekonomi dan lingkungan. Investasi untuk menjadikan lahan rawa untuk dapat ditanami padi, membutuhkan investasi yang besar untuk pompanisasi dan pembuatan tanggul keliling. Sementara tingkat risikonya juga tinggi, seperti yang dialami proyek lahan gambut satu juta hektar untuk dijadikan lahan persawahan pada era 90-an.
“Kalau lahan gambut yang sekarang ini sedang menjadi wacana kalau menurut saya sebaiknya dihindari. Persoalannya adalah kelayakan ekonomi. Memang Jepang menggunakan lahan gambut pada tahun 40-an, tapi Jepang melakukan reklamasi kurang lebih 15-20 centimeter tanah yang diambil dari bukit-bukit sekitarnya,” kata Arif Satria.
Langkah jangka pendek yang lebih memungkinkan menurutnya adalah intensifikasi lahan sawah irigasi yang kurang produktif di pulau Jawa yang memiliki tingkat kesuburan 4 kali lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia.
“Kalau kita intensifkan pada 2,6 juta hektare itu saya yakin akan ada tambahan dalam dua kali panen bisa sampai 7,9 juta ton,” tambahnya.
Dia juga menyarankan untuk meilakukan ekstensifikasi (perluasan areal pertanian) di lahan kering untuk menanam padi gogo, baik dengan menggunakan varietas Inpago 12 Agritan dengan potensi 10 ton gabah kering panen (gkp) per hektare, maupun varietas IPB 9g dengan potensi 6 hingga 9 ton per hektare. Secara kultural masyarakat juga sudah terbiasa dengan menanam padi gogo. “Perlu ekstensifikasi lebih misalnya di tanah lahan perum Perhutani dan juga PTPN,” kata Arif Satria.
Dampak pandemi Covid-19 menurutnya menegaskan pentingnya membangun kemandirian pangan di Indonesia diantara kemungkinan terjadinya deglobalisasi dimana negara-negara lain akan mempertahankan stok pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing. [yl/em]