Koordinator Litigasi Koalisi HAM Papua, Emanuel Gobay mengatakan ada diskriminasi terhadap orang Papua dalam penegakan pasal makar. Dalam siaran persnya Kamis (18/6) malam, Gobay menyebut pada dasarnya definisi pasal makar tidak jelas sehingga memudahkan terjadinya kriminalisasi pasal makar terhadap warga negara, khususnya orang Papua.
"Kami menegaskan kepada institusi kepolisian kalau memang ke depan tidak ingin ada lagi istilah tahanan politik, ya tidak usah mengkriminalisasi orang Papua dengan menggunakan pasal makar," kata Gobay saat dihubungi VOA, Jumat (19/6).
Lanjutnya, institusi kepolisian dinilai tebang pilih dalam penegakan pasal makar dan diskriminasi terhadap orang Papua. Bukan tanpa alasan, dugaan kasus makar juga pernah menyeret sejumlah nama mulai dari mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayjen TNI (purn) Kivlan Zen hingga musisi Ahmad Dhani.
Namun, menurut Gobay penegakan pasal makar tersebut kemudian tidak berlanjut. Sementara penegakan pasal makar terhadap orang Papua seperti di Jakarta, Sorong, Manokwari, dan Jayapura, berlanjut hingga ke persidangan.
"Kalau orang non Papua maka prosesnya bisa saja dilambatkan. Tapi kalau itu dikenakan ke orang Papua langsung saja dilanjutkan hingga tuntutan di pengadilan," ungkapnya.
Kemudian Gobay merinci bahwa sejak 2019 setidaknya ada 50 orang Papua yang dikriminalisasi dengan pasal makar. Pada dasarnya semua tuduhan itu telah ada pelaku yang ditangkap oleh pihak kepolisian dan dituntut di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, PN Nabire, PN Wamena, PN Biak, PN Sorong, PN Manokwari dan lain sebagainya secara terpisah-pisah. Saat ini masih ada yang masih diproses dan adapula yang telah menjalani hukuman hingga bebas.
"Yang sudah jalan itu di Jakarta, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Itu yang sudah ada putusan. Sedangkan yang belum ada putusan itu seperti Jayapura, Manokwari, Fakfak, dan Sorong," sebutnya.
Kemudian, dalam pers rilis Koalisi HAM Papua juga mencantumkan laporan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tentang gugatan judicial review pasal makar pernah diajukan ke Makhamah Konstitusi pada 2017. Dalam gugatan tersebut pada agenda pembuktian ICJR menemukan fakta bahwa argumentasi pemerintah juga kebingungan dalam memaknai dan mencari pengertian dari makar.
Dengan kata lain, Gobay meminta institusi kepolisian tak lagi menggunakan pasal makar kalau tidak mau ada istilah tapol di Indonesia.
"Kami mengimbau kepada institusi kepolisian bekerja sama dengan ICJR untuk mengajukan kembali judicial review pasal makar. Targetnya untuk menghapus pasal makar agar istilah tahanan politik di Indonesia itu dihapuskan," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer, mengatakan diskriminasi terhadap orang Papua dalam konteks penegakan hukum kerap terjadi berulang kali. Penggunaan pasal makar kata Gustaf, tidak terlepas dari peristiwa diskriminasi terhadap orang Papua yang pada awalnya hanya menuntut untuk penghapusan rasisme.
"Nah ini saya lihat bagian dari diskriminasi yang sistematis berulang dilakukan sampai sekarang," kata Gustaf saat dihubungi VOA.
Kemudian, dia juga menilai vonis yang diberikan terhadap tujuh tapol Papua di PN Balikpapan tidak tepat.
"Kalau hakim vonis bebas itu menunjukkan wajah negara ada perubahan. Tapi ini ada vonis tersebut, terbukti wajah negara tidak berubah," ucapnya.
Sebelumnya, Rabu (17/6), Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono membantah tujuh terdakwa aktivis Papua yang menjalani sidang putusan kasus makar di PN Balikpapan sebagai tapol. Kata Argo, tujuh orang Papua itu merupakan pelaku kriminal yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Papua sehingga saat ini proses hukum yang dijalani oleh mereka adalah sesuai dengan perbuatannya.
Tujuh terdakwa itu dijatuhi hukuman penjara hampir setahun oleh PN Balikpapan. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana makar. [aa/em]