Presiden Joko Widodo mengatakan kerja sama pemerintah Indonesia dengan Norwegia sejak 2010 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) harus terus berlanjut, meskipun Indonesia sendiri sedang fokus menangani permasalahan Covid-19.
“Laporan yang saya terima pembicaraan antara Indonesia dan Norwegia untuk menurunkan gas rumah kaca prosesnya sudah cukup panjang. Saya kira ini sudah sejak 2010 dan Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada 2020 dan meningkat 29 persen pada 2030,” ujar Jokowi dalam Rapat Terbatas, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (6/7).
Lanjutnya, berdasarkan konvensi perubahan iklim, Indonesia kata Jokowi memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi karbon di berbagai sektor. Jokowi merinci, emisi karbon di sektor kehutanan harus turun 17,2 persen,sektor energi 11 persen, sektor limbah 0,32 persen, pertanian 0,13 persen, sektor industri dan transportasi 0,11 persen. Jokowi mengingatkan semua pihak agar konsisten menurunkan emisi GRK tersebut.
Dalam kesempatan itu Jokowi juga menyerukan terus dilanjutkannya upaya perlindungan lahan gambut dan rehabilitasi hutan dan lahan. Serta pengembangan biodesel dan proyek panel surya.
Sukses Turunkan Emisi Karbon, Norwegia Hibahkan Rp800 Miliar
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, Indonesia mendapatkan USD56 juta atau setara Rp800 miliar dari pemerintah Norwegia, karena berhasil menurunkan emisi karbon pada 2016-2017 kurang lebih sebanyak 24,7 persen.
"Atas prestasi itu, 2 Juli sudah ada joint consultation group dari Indonesia, Wamen LHK dan Wamenlu, dari Norwegia, dubes Norwegia dan stafsus iklim Norwegia disepakati senilai dana USD 56 juta atau sekitar Rp 800 miliar itu yang terkait pembayaran prestasi komitmen Indonesia terhadap gas rumah kaca," ujar Siti.
Dana prestasi tersebut, kata Siti akan digunakan pemerintah untuk pemulihan lingkungan seperti pembibitan mangrove, pemulihan lahan gambut, dan penyelesaian lahan kritis. "Dana disalurkan oleh Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Kementerian Keuangan," imbuhnya.
Siti menjelaskan penurunan emisi GRK sejauh ini berasal dari kegiatan yang ada di masyarakat, swasta dan pemerintah. Namun diakuinya, pemerintah kesulitan untuk menurunkan emisi GRK pada 2019 lalu karena masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun ia optimis, target 26 persen pada tahun ini akan bisa tercapai.
Sebelumnya, Indonesia dan Norwegia telah menandatangani perjanjian bilateral REDD+ (Lol) pada tahun 2010 lalu. Berdasarkan perjanjian tersebut Indonesia berjanji mengurangi emisi karbon melalui penciptaan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, dan menegakkan secara ketat amanat dari UU tentang Kehutanan. [gi/em]