Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menyebut kelompok Mujahidin Indonesia Timur sebagai pelaku pembunuhan seorang petani bernama Agus Balumba alias Papa Sela (45) warga desa Sangginora, Kecamatan Poso Pesisir Selatan di Kabupaten Poso. Desa itu berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Poso.
Komisaris Polisi Sugeng Lestari, Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah menjelaskan kepada VOA, Senin (10/8), korban dan seorang rekannya AP menuju ke pondok kebun untuk menjaga tanaman jagung pada Sabtu (8/8) sore. Namun sesampai di pondok kebun, justru bertemu dengan sekelompok orang bersenjata api.
Saksi AP berhasil melarikan diri, tapi korban dianiaya kelompok itu. Jenazah Agus Balumba dievakuasi pada Minggu (9/8) oleh aparat keamanan bersama masyarakat desa setempat.
Sugeng Lestari mengatakan petugas Satgas Tinombala langsung menemui saksi AP ketika mendengar kejadian tersebut. Saat ditanyai oleh Satgas Tinombala, menurut Sugeng, AP membenarkan tersangka penyerangan termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso.
"..Di mana diduga atas nama Ali Kalora membawa senjata laras panjang. Pelaku yang memukul AB terlihat membawa senjata pendek dan beberapa orang lain dengan perawakan masih muda,” kata Sugeng Lestari.
Kelompok MIT juga dikaitkan Polisi dengan pembunuhan dua petani lainnya dalam dua peristiwa terpisah pada April 2020.
Negara Harus Lindungi Warga Poso
Kepala Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako, Muhammad Marzuki mengatakan kepada VOA, Selasa (11/8), aksi-aksi kekerasan yang menyasar warga sipil dikarenakan dua hal, yaitu MIT ingin menyampaikan pesan bahwa mereka masih kuat dan karena mencurigai warga yang ditemui adalah informan aparat keamanan.
“Maka kemudian sebenarnya kalau saya negara harus hadir dalam posisi seperti itu. Artinya, aparat harus bisa melindungi warganya," ujar Marzuki.
Dia juga mempertanyakan mengapa operasi Tinombala tidak bisa mengatasi gangguan keamanan dari kelompok MIT. Padahal, jumlahnya diklaim terus menurun.
"Itu artinya menurut saya Operasi Tinombala ini belum sepenuhnya mampu menjawab apa yang kita harapkan yaitu kasus MIT di Poso itu bisa diselesaikan,” tegas Marzuki.
Marzuki menekankan operasi Tinombala harus memiliki tenggat waktu yang jelas untuk menangkap seluruh anggota kelompok itu. Polisi dan TNI juga harus bisa masuk ke jantung operasi mereka.
"Buktinya apa? Mereka masih bisa mendekati perkampungan, bisa bergerak di satu titik ke titik yang lain. Namanya saja ada Operasi Tinombala, tapi kalau kita lihat kan, relatif tiba-tiba saja, kadang-kadang, bukan karena suatu operasional yang terukur dan terencana,” kata Marzuki.
Sepanjang 2020 ini, Operasi Tinombala sudah diperpanjang sebanyak tiga kali. Masa perpanjangan ketiga berlaku mulai 29 Juni hingga 30 September 2020. Operasi Tinombala sendiri sudah berlangsung sejak 2016 dan masa operasi diperpanjang setiap tiga bulan.
Terpaksa Berkebun Meski Tak Aman
Dihubungi secara terpisah, Rinaldy Damanik, seorang tokoh masyarakat di Tentena menjelaskan, meskipun diliputi kekhawatiran, tetapi desakan ekonomi membuat warga seperti Agus Balumba tetap mengolah lahan kebun di sekitar wilayah kaki pegunungan yang selama ini menjadi wilayah pergerakan kelompok itu.
Meminta warga agar tidak berkebun, menurut Rinaldy, sangat tidak mungkin karena mereka butuh pemasukan. Kecuali pemerintah membantu petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk makan dan sekolah anak-anak.
“Tapi itu kan tidak mungkin. Jadi begini, masak 13 orang saja tidak bisa diatasi oleh negara ini. Itu logikanya. Kalau aparat tidak mampu, kami rakyat juga bisa kejar mereka itu," tegas Damanik.
Dia juga menilai operasi Tinombala tidak mampu memberikan rasa aman bagi warga Poso.
“Faktanya korban berjatuhan terus kan, jadi saya mau bilang operasi Tinombala ini gagal. Gagal total. Sudah bertahun-tahun, berulang-ulang,” tambah Damanik.
Menurutnya penangkapan seluruh anggota kelompok MIT sangat penting untuk memulihkan rasa aman masyarakat di wilayah itu. [yl/em/ft]