Minggu ini, Valdya Baraputri seharusnya bertugas meliput Konvensi Nasional Republik. Namun, dia dan seorang rekan kerjanya terpaksa harus kembali ke Indonesia pada Senin (24/5), setelah Badan untuk Media Global (US Agency for Global Media/USAGM) tidak memperbarui visa J-1 yang memungkinkan mereka bekerja di Voice of America.
Valdya adalah satu dari sedikitnya 15 jurnalis VOA yang harus kembali ke negara asal dalam beberapa pekan mendatang.
Kebijakan pembaruan visa J-1 untuk para wartawan asing muncul setelah kepemimpinan USAGM yang baru mengkaji izin masuk khusus untuk para individu dengan keterampilan unik. Ada sekitar 20 jurnalis, termasuk beberapa yang berasal dari negara yang represif, yang visanya akan berakhir masa berlakunya pada akhir tahun.
VOA menyiarkan siaran dalam 47 bahasa, bergantung pada pengetahuan kawasan khusus, kontak, dan kemampuan bahasa para jurnalis dari semua penjuru dunia.
CEO USAGM Michael Pack membela keputusan lembaganya terkait visa J-1 para wartawan VOA dan usaha-usaha untuk memperbaiki keamanan. Ia mengatakan, ia mengambil tindakan itu setelah auditor pemerintah berulang kali memperingatkan adanya masalah dalam proses perekrutan pegawai. CEO baru itu memfokuskan perhatiannya pada pemeriksaan latar belakang pegawai.
Seorang juru bicara USAGM dalam sebuah pernyataannya Juli lalu mengatakan, evaluasi pemeriksaan latar belakang pegawai ditujukan untuk memperbaiki manajemen, melindungi keamanan nasional AS dan memastikan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada perekrutan pegawai tidak dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak bertanggung jawab. Ia mengatakan, para pemegang visa J-1 di VOA tidak secara terang-terangan mengungkapkan status mereka saat melamar di VOA.
Grant Turner, mantan CEO dan CFO USAGM, salah satu dari sedikitnya tujuh staf USAGM yang dikenai tindakan administratif sejak 12 Agustus terkait penyelidikan mengenai isu-isu keamanan, mengatakan, evaluasi keamanan dan penghentian perpanjang visa J-1 merupakan bagian dari pola manajemen yang keliru USAGM dalam beberapa bulan terakhir.
Turner mengatakan, kehilangan sejumlah wartawan di divisi-divisi bahasa VOA bisa berarti kehilangan penonton atau pendengar di negara-negara seperti Iran, China, dan Venezuela di mana akses ke berita-berita independen sangat terbatas. Ia menambahkan, tidak memperpanjang visa merupakan pengingkaran terhadap janji yang diberikan USAGM terhadap wartawan-wartawan asing yang bekerja untuk VOA.
USAGM menyatakan Turner dan sejumlah staf lainnya dikenai tindakan administratif untuk memulihkan aturan hukum di tempat kerja. Turner mengatakan, ia menolak alasan USAGM merumahkan mereka.
Kelompok Kebebasan Pers
Kelompok kebebasan pers AS, termasuk Komite Wartawan untuk Kebebasan Pers (Committee for Freedom of the Press/RCFP) dan PEN America, mengkritik langkah tersebut.
“Tepat pada saat dunia membutuhkan berita tepercaya dan akurat, kepemimpinan di USAGM malah mengirimpulang jurnalis yang paling tahu cara menyampaikan berita tersebut,” kata Gabe Rottman, Direktur Proyek Teknologi dan Kebebasan Pers di RCFP, kepada VOA.
Anggota Kongres, termasuk Senator Republik Marco Rubio dari Florida dan Lindsey Graham dari Carolina Selatan, Senator Demokrat Richard Durbin dari Illinois dan lainnya menyoroti peran penting VOA dan penyiar USAGM lainnya dalam memerangi disinformasi dan memberikan berita yang kredibel kepada khalayak di negara-negara otoriter, seperti Iran, Rusia dan China.
Dalam sebuah surat kepada Pack bulan lalu para senator memperingatkan bahwa "aktor-aktor jahat" di negara-negara tersebut "sangat membatasi kebebasan pers mereka sendiri untuk menghambat akses berita independen untuk warganya." Para senator menyampaikan hal itu setelah Pack memecat para kepala penerima hibah USAGM, termasuk Radio Free Asia dan Radio Free Europe/Radio Liberty.
Sanford Ungar, Direktur VOA pada masa pemerintaha Presiden Bill Clinton dan George W. Bush mempertanyakan motif di balik peninjauan visa tersebut.
“Ini adalah kesalahan besar danakan berdampak langsung terhadap kemampuan VOA untuk menjalankan tanggung jawabnya yang sah. Ini akan melemahkan organisasi itu dan membuatnya lebih rentan terhadap serangan politik,” katanya kepada VOA.
Ungar menambahkan bahwa itu akan mempersulit VOA untuk mempertahankan integritasnya dari serangan pemerintah asing yang bermusuhan.
Dalam editorial sebuah media online yang diterbitkan pada 23 Agustus, otoritas Beijing mengatakan orang China yang bekerja untuk Amerika Serikat harus memperhatikan apa yang terjadi pada jurnalis asing VOA.
"Mereka yang masih memiliki ilusi bahwa pemerintah AS akan melindungi mereka jika mereka menjual negara mereka, dan bekerja untuk AS, hanya akan berulang kali dipermalukan oleh (Presiden Donald) Trump," kata terjemahan editorial tersebut.
Dalam sambutannya pada webinar 11 Agustus yang diselenggarakan oleh Society for Professional Journalists, Ungar berkata, “Serangan terhadap VOA, upaya untuk mencegah VOA melakukan bisnis yang benar, pada akhirnya adalah serangan terhadap kebebasan informasi di banyak negara di seluruh dunia di mana layanan sangat dibutuhkan."
Status Visa J-1
Sejak 1961, Program Pertukaran Tamu, yang mencakup visa J-1, telah memberikan peluang kerja jangka pendek di Amerika Serikat bagi para profesional, guru, dan siswa asing. Pada April ini, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang menangguhkan beberapa imigrasi terkait ekonomi, sebagai bagian dari langkah-langkah yang bertujuan membantu peluang kerja domestik selama pandemi virus corona.
Stephen Yale-Loehr, seorang profesor hukum imigrasi di Cornell Law School dan salah satu penulis "J Visa Guidebook", mengatakan kepada VOA, J-1 dan pemegang visa berbasis kerja lainnya membawa "keuntungan ekonomi yang substansial" ke AS.
“Banyak dari pekerjaan ini terspesialisasi dan, tergantung pada sifat pekerjaannya. Mungkin tidak layak bagi pemberi kerja untuk mencari pekerja AS untuk menggantikannya,” tambahnya.
Yale-Loehr mengatakan bahwa meski sponsor visa tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperbarui visa karyawan, "Mereka mungkin memiliki kewajiban moral jika mengirim pekerja J-1 kembali ke jalan yang membahayakan."
Yale-Loehr mengatakan pemegang visa yang takut akan penganiayaan jika mereka kembali ke negara asalnya memiliki hak untuk mencari suaka, katanya.
Valdya, yang menjadi pembawa acara bersama program berita mingguan untuk VOA layanan bahasa Indonesia, mengatakan jauh lebih mudah untuk meliput isu-isu yang dianggap sensitif di Indonesia dari AS.
Selain kehilangan pekerjaan, para jurnalis tersebut juga terpaksa terbang kembali ke negara asal di tengah pandemi virus corona.
Dalam kasus Valdya, dia harus mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk karantina mandiri di hotel -selama dua minggu- sebelum kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. [jm/pp/uh/ab/ah/ft]