Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan masyarakat menilai efektivitas pemberantasan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden, dan Polisi menurun. Namun, di antara ketiga lembaga tersebut, masyarakat menilai KPK mengalami penurunan kinerja paling tajam.
Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, dalam Rilis Survei Nasional Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia, Minggu (6/12), memaparkan berdasarkan survei itu, efektivitas kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi menurun menjadi 65 persen pada Desember 2020, dibandingkan 85 persen pada Desember 2018.
Efektivitas kinerja Presiden turun menjadi 67,67 persen, dari 75,7 persen pada periode yang sama. Sedangkan, kepolisian mengalami penurunan efektivitas menjadi 59,7 persen, dari 65.5 persen.
“Nah kalau tidak puas apa alasannya? Tidak berkurangnya koruptor yang ditangkap dan diadili, tetap banyak koruptor, walaupun ada (yang) KPK tangkap tetap banyak, atau KPK sekarang kurang tampak kerjanya seperti operasi tangkap tangannya tidak terlihat, penindakan tidak terlihat,” papar Djayadi.
Hasil tersebut didapat dari dua survei nasional yang dilakukan terpisah, tetapi dalam waktu yang bersamaan, yaitu pada 29 November – 3 Desember 2020. Masing-masing survei melibatkan 2.000 responden di 34 provinsi.
Sebanyak 45,6 persen responden dalam kedua survei itu juga menilai korupsi mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Pandangan publik terhadap keseriusan pemerintah pusat melawan korupsi juga turun menjadi 59 persen pada 2020, dibandingkan 69 persen pada 2018.
“Sementara yang menyatakan pemerintah kurang serius itu juga meningkat dari 19 persen di 2018 menjadi 31 persen di 2020,” tambah Dyajadi Hanan.
Sisi Penindakan
Merespons hasil survei LSI, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, mengatakan publik cenderung melihat kinerja KPK hanya dari sisi penindakan. Padahal, KPK memiliki total enam tugas pokok, antara lain fungsi koordinasi, monitoring, supervisi untuk pencegahan korupsi yang tidak begitu banyak diliput oleh media massa.
Tugas pokok KPK itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Itu dirasakan betul oleh KPK. Itu (tugas pokok.red) tidak berhasil terjual, tidak berhasil dipasarkan karena dianggap pemberitaan-pemberitaan mengenai pencegahan bukan pemberitaan yang seksi sebagaimana tugas-tugas penindakan,” kata Nawawi.
Dikatakannya, persepsi kepercayaan publik kepada KPK tampaknya bergantung pada tugas penindakan. Ini terlihat dari grafik kepercayaan publik yang sebelumnya turun drastis, tiba-tiba melejit pada akhir November dan awal Desember setelah KPK melakukan empat operasi tangkap tangan di sejumlah daerah.
“Kalau kemudian masyarakat bisa lebih memahami bahwa konteks lingkup pekerjaan komisi tidak hanya pada pencegahan dan penindakan sebagai yang di survei tadi, berangkali akan lebih berbeda hasilnya dengan soal tingkat kepercayaan masyarakat itu sendiri,” kata Nawawi.
Pungutan liar
Survei LSI juga mengungkap tingginya angka pungutan liar (pungli) dan gratifikasi yang dialami oleh responden saat berurusan dengan Polisi, perizinan usaha, mencari pekerjaan di lembaga pemerintah, berurusan dengan administrasi atau guru di sekolah, mengurus administrasi kependudukan, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Djayadi menjelaskan responden memberi pungli atau gratifikasi dalam bentuk hadiah, uang, dan bentuk lainnya. Sebanyak 57,6 persen responden yang pernah memberi pungli, imbuhnya, beralasan pemberian pungli agar urusan cepat selesai.
Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kepala Staf Kepresiden Kantor Staf Kepresiden RI mengungkapkan upaya penanganan pungutan liar telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Dia mengatakan hingga 31 Agustus 2020 telah masuk 37.579 laporan masyarakat terkait pungutan liar. Sebanyak 63 persen laporan pungli disampaikan masyarakat melalui SMS Gateway 1193.
Masalah pungli yang paling banyak diadukan terkait dengan sektor pelayanan administrasi, yaitu 52 persen, pendidikan 20 persen, hukum delapan persen, perizinan lima persen, kepegawaian lima persen serta pengadaan barang dan jasa lima persen.
Instansi pemerintah pusat yang paling banyak dilaporkan, papar Jaleswari, adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kepolisian RI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementrian ATR/BPN). Instansi Pemerintah Daerah yang paling banyak dilaporkan adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Provinsi Banten, dan Provinsi Sumatera Utara. [yl/ft]