Tautan-tautan Akses

KPK Tetapkan Menteri Edhy Prabowo Sebagai Tersangka


Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo ketika meninjau dua kapal nelayan Vietnam yang disita karena memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal di Kubu Raya, Kalimantan Barat (foto: dok).
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo ketika meninjau dua kapal nelayan Vietnam yang disita karena memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal di Kubu Raya, Kalimantan Barat (foto: dok).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kamis dini hari (26/11) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan enam orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus suap terkait izin ekspor benih lobster. KPK menangkap Edhy pada Rabu dini hari di bandara Soekarno Hatta setiba dari Amerika.

Dalam jumpa pers Kamis dini hari (26/11), Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan KPK langsung menahan lima dari tujuh tersangka, termasuk Edhy Prabowo. Sedangkan dua tersangka lainnya, yakni APM dan AM, masih belum ditemukan. KPK meminta kedua tersangka itu untuk datang menyerahkan diri.

Dalam jumpa pers itu KPK menghadirkan lima tersangka yang mengenakan rompi berwarna oranye yang berdiri membelakangi wartawan, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan KKP Edhy Prabowo.

"KPK menetapkan tujuh orang tersangka masing-masing sebagai penerima suap EP, SAF, APM, SWD, AF, dan AM. Sebagai pemberi SJT," kata Nawawi.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (EP), Safri (SAF) selaku Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Siswadi (SWD) sebagai pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Ainus Faqih (AF) selaku staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Amirul Mukminin (AM) – ditetapkan sebagai penerima suap. Sedangkan Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT) ditetapkan sebagai pemberi suap.

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri KKP Edhy Prabowo saat menijau kondisi di Pulau Natuna, Kepulauan Riau awal tahun ini (foto dok./ Antara).
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri KKP Edhy Prabowo saat menijau kondisi di Pulau Natuna, Kepulauan Riau awal tahun ini (foto dok./ Antara).

Keenam orang sebagai penerima tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan tersangka yang diduga sebagai pemberi yakni Direktur PT DPPP, Suharjito (SJT), disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Rekening Bank Membuka Informasi Soal Suap

Menurut Nawawi, KPK menerima informasi adanya dugaan terjadinya penerimaan uang oleh penyelenggara negara pada 21-23 November 2020. KPK kembali menerima informasi yang sama mengenai transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana dari beberapa pihak yang sedang dipergunakan bagi kepentingan penyelenggara negara untuk pembelian sejumlah barang di luar negeri.

Menindaklanjuti informasi tersebut, KPK menurunkan tiga tim di bandara Soekarno Hatta, Depok, dan Bekasi. Mereka berhasil mengamankan 17 orang, termasuk Edhy Prabowo.

"Dari hasil tangkap tangan tersebut, ditemukan ATM BNI atas nama AF, tas LV (Louis Vuitton), tas Hermes, baju Old Navy, jam Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi dan tas koper LV," kata Nawawi.

Tergiur Bisnis Benur

Nawawi juga menjelaskan konstruksi dari perkara tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menerbitkan surat keputusan tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020. Andreau Pribadi Misanta ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas dan Safri sebagai wakilnya. Keduanya merupakan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan.

Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.

Lalu pada awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suhardjito mendatangi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di lantai 16 bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan itu diketahui bila keperluan ekspor benur hanya dapat melalui PT Aero Citra Kargo atau PT ACK sebagai jasa pengiriman kargo benur dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.

Atas kegiatan ekspor benur itu, PT DPP diduga melakukan transfer uang ke rekening PT ACK dengan total Rp 731.573.564. Berdasarkan data kepemilikan, pemegang saham PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan usulan dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.

KPK menduga uang yang masuk ke rekening PT ACK berasal dari beberapa perusahaan eksportir benur tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar masing-masing Rp 9,8 miliar.

Kemudian pada 5 November 2020, diduga ada transfer dari Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, staf istri Menteri KKP sebesar Rp 3,4 miliar yang digunakan untuk keperluan Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi (istri Edhy Prabowo), Safri, dan Andreau Pribadi Misanta, sebagai berikut:

Edhy Prabowo dan Iis Rosyati Dewi berbelanja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, pada 21-23 November sekitar Rp 750 juta berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.

Pada sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo diduga menerima uang US$ 100 ribu dari Suharjito melalui Safri dan Amiril Mukminin, serta pada Agustus 2020 uang Rp 436 juta melalui Safri dan Andreau Misanta.

Menteri Edhy Prabowo Mohon Maaf pada Ibunda

Usai jumpa pers kepada wartawan, Edhy Prabowo secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada ibunya yang sudah berusia sepuh, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan seluruh masyarakat Indonesia. Dia menegaskan akan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

"Saya dengan ini akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum (Partai Gerakan Indonesia Raya). Juga nanti saya akan mohon diri untuk tidak lagi menjabat sebagai menteri dan saya yakin prosesnya sudah berjalan," tutur Edhy.

Ekspor Benur Sudah Dilarang Menteri KKP Sebelumnya

Izin ekspor benih lobster sebenarnya sudah dilarang ketika Menteri Susi Pudjiastuti menjabat dengan alasan berujung pada eksploitasi dan merusak ekosistem lobster. Namun pada Mei 2020 Menteri Kelautan Perikanan Edhy Prabowo mengeluarkan surat keputusan untuk menghidupkan kembali ekspor benih lobster.

Surat itu dinilai mengandung sejumlah kejanggalan karena dinilai dibuat secara tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat bahari sebagai pemangku kepentingan. Penetapan eksportir yang memperoleh izin dan kuota benih lobster juga bermasalah. Baru sebulan setelah peraturan menteri keluar, sudah ada 31 eksportir. Parahnya lagi, ekspor benih lobster langsung bisa dilakukan satu bulan kemudian, tepatnya pada Juni 2020, padahal ada syarat budidaya dan pelepasliaran lobster ke alam bebas belum memenuhi kuota.

Nama-nama eksportir belakangan diketahui memiliki kedekatan pribadi dengan Edhy Prabowo.

Majalah Tempo edisi 4 Juli 2020 mencatat sejumlah politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya, termasuk Hashim Djojohadikusumo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, adik dan keponakan dari Prabowo Subianto.

KPK Tetapkan Menteri Edhy Prabowo Sebagai Tersangka
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:57 0:00



Pada September lalu, Bea Cukai menangkap 14 eksportir karena menyelundupkan ekspor benih lobster di bandara Soearno Hatta. Mereka memalsukan jumlah benih yang dikirim dengan yang dilaporkan. Namun Kementerian Kelautan Perikanan tidak mencabut izin mereka.

Kemudian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga ada praktik monopoli dalam pengiriman ekspor benih lobster yang hanya terkonsentrasi di satu perusahaan di bandara Soekarno Hatta. Padahal eksportir boleh mengirim lewat lima bandara lain. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG