Setibanya di Jakarta setelah melakukan apa yang disebut sebagai “shuttle diplomacy,” Menteri Luar Negeri Retno Marsudi Rabu malam (24/2) menegaskan kembali posisi Indonesia sejak awal atas kudeta militer di Myanmar “yaitu meminta agar semua pihak menahan diri, tidak menggunakan kekerasan dan menekankan proses transisi demokrasi.”
Retno menyampaikan hal itu ketika bertemu dengan Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin di bandara Don Muang, Bangkok. Pertemuan itu juga disaksikan oleh Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai.
Pertemuan pertama kali yang dilakukan Indonesia dengan pejabat tinggi Myanmar pasca kude militer 1 Februari lalu itu dilangsungkan setelah Retno Marsudi membatalkan rencana lawatannya ke Naypitaw, yang sedianya berlangsung hari Kamis (25/2) untuk menyampaikan secara langsung pesan dan posisi Indonesia, juga pesan masyarakat internasional atas penyelesaian masalah di negeri Pagoda Emas itu.
Maung Lwin, purnawirawan tentara berpangkat kolonel yang juga mantan menteri luar negeri pada tahun 2011-2016, merupakan tokoh yang baru ditunjuk junta militer Myanmar sebagai menteri luar negeri.
"Saya menyampaikan secara konsisten posisi Indonesia, yaitu Indonesia prihatin terhadap perkembangan situasi di Myanmar, kemudian keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar menjadi prioritas nomor satu. Oleh karena itu, kita meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan untuk menghindari kemungkinan terjadinya korban dan pertumpahan darah," kata Retno.
Dalam pertemuan dengan Maung Lwin, Retno juga menyampaikan pentingnya bagi semua negara anggota ASEAN untuk menghormati prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN. Juga untuk membuka akses dan kunjungan kemanusiaan pada para tahanan politik di Myanmar.
“Indonesia akan senantiasa bersama dengan rakyat Myanmar.
Dalam kondisi sulit, komunikasi dengan semua pihak harus tetap dilakukan. Agar pesan dapat disampaikan dan upaya penyelesaian dapat dilakukan... Indonesia akan terus melanjutkan komunikasi dengan semua pihak agar dapat berkontribusi dalam penyelesaian masalah Myanmar,” tegas Retno.
Dalam konferensi pers virtual yang dihadiri seratusan media asing itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga mengatakan telah menjalin komunikasi intensif dengan semua pihak di Myanmar, termasuk Committee of Representing Pyidaungsu Hluttaw atau CRPH. CRPH adalah badan yang dibentuk oleh para mantan anggota parlemen Myanmar.
ASEAN Diminta Tak Tutup Mata
Pakar ASEAN yang juga pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja mengatakan ASEAN tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap krisis politik di Myanmar pasca kudeta militer.
Ia menyerukan agar ASEAN tidak menganggap persoalan Myanmar sebagai isu domestik semata dan perlu bertindak agar demokrasi yang sudah mulai berkembang tidak dikerdilkan lagi.
“Saya melihat masih ada dominasi negara-negara di ASEAN yang berpikir seperti itu. Makanya kalau Indonesia posisinya diam saja, tidak melakukan suatu terobosan, makin tidak relevanlah ASEAN ini, negara demokrasi seperti Indonesia makin terkucilkan dalam organisasi kawasan ini," ujar Dinna.
Oleh karena itu Dinna mendorong Indonesia harus terlibat dan sejak awal memiliki posisi yang jelas dalam ASEAN untuk mengupayakan solusi terhadap krisis politik di negara berpenduduk 55 juta jiwa itu. Menurutnya, Indonesia harus senantiasa menegaskan bahwa penindasan terhadap proses demokrasi, kebebasan dan gerakan masyarakat sipil di Myanmar tidak dapat diterima.
Siapapun yang menjadi pemimpin di Myanmar atau negara anggota ASEAN lainnya, tambah Dinna, harus memiliki komitmen yang memang sejalan dengan prinsip ASEAN itu. [w/em]