Peneliti Indonesian Corruptio Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam kategori sangat buruk.
Hal itu terlihat dari jumlah kasus penindakan kasus korupsi yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut yang berkisar 13 persen dari target 120 kasus sepanjang 2020. Jumlah tersebut jauh jika dibandingkan dengan penindakan pada 2018 yang mencapai 216 kasus.
"Sejak 2015 hingga 2020, kinerja KPK mengalami kemerosotan sangat signifikan. Tahun 2020 ini merupakan titik terendah sejak 2015 ketika KPK menyidik kasus korupsi," jelas Wana dalam konferensi pers daring, Minggu (18/4).
Wana menjelaskan terdapat beberapa kasus yang ditangani KPK prosesnya lambat dalam membongkar setiap aktor. Selain itu, sebagian besar penindakan kasus korupsi merupakan hasil operasi tangkap tangan sejumlah tujuh kasus dan pengembangan tujuh kasus. Kasus yang baru disidik pada 2020 baru satu kasus.
ICW menyebut dalam konteks profesionalisme, terdapat dugaan bahwa kasus tahun sebelumnya atau carry over akan dihentikan (SP3) karena sudah ada preseden atas kasus BLBI.
"Kebocoran surat perintah dalam beberapa kasus yang ditangani oleh KPK membuka ruang bagi pelaku untuk melarikan diri, menyembunyikan bukti, atau potensi intimidasi dan teror. Kebocoran berpotensi terjadi pada tingkat KPK ataupun Dewan Pengawas," tambah Wana.
Ia merekomendasikan presiden untuk mengevaluasi kinerja dari pimpinan institusi penegak hukum, serta mempertimbangkan alokasi anggaran yang diberikan kepada institusi berdasarkan kinerja. Di samping itu, ICW mendorong institusi penegak hukum untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk kasus korupsi secara detail.
Menanggapi itu, Plt Juru bicara KPK bidang Penindakan, Ali Fikri, mengatakan tuntutan pidana antara perkara yang satu dengan yang lain berbeda. Ia beralasan masing-masing perkara memiliki karakteristik yang juga berbeda.
"Di samping itu, alasan meringankan dan memberatkan atas perbuatan terdakwa tentu juga ada perbedaan antara perkara tipikor yang satu dengan yang lainnya," jelas Ali Fikri kepada VOA, Senin (19/4/2021).
Ali Fikri menambahkan KPK telah berupaya mengurangi perbedaan penanganan antar perkara dengan menyusun pedoman tuntutan baik perkara tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pedoman tersebut saat ini dalam tahap finalisasi pedoman teknisnya.
Selain itu, kata Ali, kebijakan KPK tidak hanya menghukum para pelaku korupsi dengan hukuman penjara untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya. Namun, KPK juga berupaya melakukan penjatuhan hukuman denda, uang pengganti maupun perampasan aset hasil korupsi. Karena itu, KPK memandang penting untuk menuntaskan perkara yang berhubungan dengan pasal kerugian negara, gratifikasi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Oleh karena ukuran keberhasilan KPK khususnya bidang penindakan sesungguhnya juga bukan diukur melalui banyaknya tangkap tangan yang dilakukan dan berujung pada penerapan pasal-pasal penyuapan," tambah Ali Fikri. [sm/ft]