Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerapkan pasal-pasal tindakan pencucian uang dalam kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyoroti penggunaan uang yang diduga hasil korupsi lobster untuk pembelian barang-barang. KPK mencurigai uang tersebut diduga digunakan untuk membeli rumah, mobil, dan sewa apartemen. Tindakan tersebut, kata Kurnia, dapat dijerat dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang (UU) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena terdapat upaya membelanjakan dan menyamarkan hasil korupsi.
"Berdasarkan pantauan ICW selama ini penegak hukum, tidak hanya KPK, Kejaksaan dan Polri sangat jarang menggunakan pasal pencucian uang ini. Padahal kalau kita beicara pemiskinan koruptor, pintu masuknya adalah undang-undang ini," jelas Kurnia dalam diskusi daring, Rabu (18/3).
Pasal 3 UU TPPU mengancam orang-orang yang membelanjakan atau mengalihkan harta yang berasal dari tindak pidana dengan penjara paling lama 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Sementara Pasal 4 UU TPPU mengancam orang yang menyembunyikan atau menyamarkan harta dari tindak pidana dengan penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Adapun orang yang menerima harta dari tindak pidana diancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar sesuai dengan Pasal 5 UU TPPU.
Kurnia juga mendesak KPK untuk memeriksa semua orang yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster ini untuk menelusuri keterlibatan pihak lain di luar tujuh tersangka yang telah ditetapkan.
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi mendorong pemerintah untuk menghapus kebijakan ekspor benih lobster karena merugikan negara dan mengancam kelestarian lobster.
Ia mengutip data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) setidaknya ada aliran dana sebesar Rp900 miliar dalam penyelundupan benih lobster ke luar negeri.
"Saya kira kita butuh kontribusi PPATK dan Badan Pemeriksa Keuangan membantu proses-proses pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam kasus ini," jelas Badiul Hadi.
Badiul Hadi menilai KPK juga perlu meningkatkan komitmen dalam pemberantasan kasus korupsi termasuk dalam kasus ekspor benih lobster. Ia mencatat sejumlah kasus korupsi yang ditangani KPK masih jalan di tempat.
Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan, Ali Fikri, mengatakan pasal TPPU akan diterapkan jika terdapat bukti permulaan perubahan hasil tindak pidana korupsi menjadi aset-aset. Semisal properti, kendaraan dan surat berharga.
"Namun banyak hal yang dipertimbangkan penerapan pasal TPPU atau tidak, tetapi goal-nya adalah sebagai upaya pengembalian aset hasil tipikor yang dinikmati oleh pelaku," jelas Ali Fikri kepada VOA, Kamis (18/3).
Ali Fikri berpandangan pengembalian semua aset hasil korupsi melalui penyitaan dan perampasan negara dengan menggunakan pasal gratifikasi juga memiliki tujuan yang sama dengan penerapan pasal TPPU.
Sementara terkait keterlibatan pihak lain, Fikri menjelaskan lembaganya bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku. Termasuk dalam penetapan tersangka kasus korupsi yang berpegang pada ada tidaknya dua bukti permulaan dalam penetapan tersangka seseorang.
"Perlu juga kami sampaikan bahwa KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka itu bukan karena desakan atau permintaan pihak-pihak tertentu."
KPK telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Edhy diduga menerima suap sebesar Rp9,8 miliar dan $100 ribu dalam kasus ini. [sm/ft]