Berbagai regulasi terus diterbitkan pemerintah untuk melindungi industri dan petani kelapa sawit. UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yaitu pola kemitraan perusahaan dalam menggunakan Hak Guna Usaha HGU perkebunan kelapa sawit menyebutkan penyediaan fasilitas 20 persen untuk perkebunan rakyat yang dikelola para petani.
Peneliti dari UPN Veteran Jakarta, Fachru Nofrian, mengatakan penerapan aturan itu di daerah masih rendah. Padahal, tegas Fachru, perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia terus meningkat.
"Luasan lahan perkebunan masyarakat di daerah cenderung variatif, ada penerapan aturan yang berbeda di setiap instansi. Ini bisa menghambat penerapan syarat penyediaan 20 persen lahan HGU kelapa sawit dilakukan oleh perkebunan masyarakat. Data tahun 1968 perkebunan sawit di Indonesia ada di 3 provinsi namun saat ini sudah menyebar di 26 provinsi, tentu saja lahan perkebunannnya semakin luas. Nilai investasi industri sawit juga meningkat,” ungkap Fachru, dalam diskusi “Persaingan Usaha Dan Kemitraan Dalam Industri Kelapa Sawit,” hari Kamis (27/5).
Indutri kelapa sawit Indonesia, tambahnya, menyebar di berbagai daerah antara lain di pulau Sumatera, Sulawesi, Papua, dan Kalimantan. Fachru menuturkan bahwa kelapa sawit masih menjadi ladang bisnis menjanjikan.
Pemerintah mencatat investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor pertanian pada periode 2015-Maret 2021 masih didominasi investasi perkebunan sawit. Investasi itu berasal dari Singapura sekitar 53,7 persen dan Malaysia 15,8 persen. Ada lebih dari 1.000 perusahaan kelapa sawit yang saat ini beroperasi dan wajib mematuhi regulasi penyediaan fasilitas 20 persen untuk perkebunan yang dikelola masyarakat.
Tak hanya persoalan lahan dan regulasi, Fachru Nofrian menilai banyak warga pemilik lahan yang HGU-nya dipakai perkebunan sawit yang kini beralih menjadi buruh atau pekerja.
"Nilai tukar petani sawit cenderung rendah. Padahal daerahnya punya lahan sawit yang luas. Ada shifting pemilik usaha perkebunan justru beralih jadi buruh kelapa sawit,” ungkap Fachru.
Mansuetus Darto dari Serikat Pekerja Kepala Sawit mengkhawatirkan nasib petani sawit semakin terpinggirkan dan merosot.
"Petani kontrak, mereka bekerja sejak awal hingga panen, namun hasil produksi di serahkan ke koperasi. Petani dan koperasi tinggal duduk saja menunggu hasil pemeriksaan kualitas produk oleh perusahaan dengan harga beli produk yang rendah. Atau bahkan ada petani pemilik lahan malah tinggal di rumah, tanahnya digarap oleh perusahaan,” ujarnya.
Komitmen Bersama Menjaga Kemitraan
Lebih jauh Fachru Nofrian mengatakan perlu ada kesadaran diantara pengusaha dan petani kelapa sawit dalam memajukan industrinya. Hal ini dapat dilakukan sejak kontrak kerjasama kemitraan, penyediaan sarana produksi, kredit perbankan hingga pemasaran produk sawit para petani.
Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI, Timbas Prasad Ginting menyatakan keterbukaan dalam kemitraan menjadi kunci kerjasama antara pemerintah, pengusaha dan petani kelapa sawit.
"Kami siap bermitra dengan petani. Mereka membuat kelompok tani, gapoktan atau koperasi. Dengan cara ini, harga produk petani akan lebih kompetitif daripada belum bergabung dalam koperasi. Jangan menyalahkan perusahaan kalau tidak membeli produk petani yang belum bermitra,” ujarnya.
Perwakilan SPKS, Mansuetus Darto mengatakan siap melakukan pendampingan dalam penandatanganan kontrak.
"Saat perjanjian kontrak, kami para petani dihadapkan pada pasal-pasal hukum. Perlu pendampingan secara fair, terbuka, dalam pengelolaan perkebunan sawit antara petani dengan perusahaan supaya akuntabel," jelas Darto. [ys/em]