Tautan-tautan Akses

Studi: Penyebaran COVID-19 di Indonesia Lebih Luas daripada Data Resmi


Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap untuk merawat pasien di rumah sakit darurat COVID-19 di Wisma Atlet, Jakarta, 26 Januari 2021. (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap untuk merawat pasien di rumah sakit darurat COVID-19 di Wisma Atlet, Jakarta, 26 Januari 2021. (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Dua penulis studi baru mengatakan kepada Reuters, bahwa tingkat prevalensi COVID-19 di Indonesia berkali lipat lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh angka resmi.

Dengan jumlah penduduk 270 juta, Indonesia mencatat 1,83 juta kasus positif. Namun, para ahli epidemiologi telah lama meyakini bahwa skala penyebaran yang sebenarnya dikaburkan oleh kurangnya pengujian dan pelacakan kontak.

Hasil studi seroprevalensi besar pertama di Indonesia - yang menguji antibodi - diungkapkan secara eksklusif kepada Reuters.

Satu studi nasional yang dilakukan antara Desember dan Januari menunjukkan setidaknya 15 persen orang Indonesia telah tertular COVID-19. Angka resmi pada akhir Januari mencatat infeksi hanya terjadi pada sekitar 0,4 persen orang. Bahkan saat ini total kasus positif di Indonesia baru sekitar 0,7 persen dari jumlah penduduk.

Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Pandu Riono, pakar epidemiologi Universitas Indonesia, mengatakan hasil survei tidak di luar ekspektasi karena pelaporan data yang tidak sesuai. Pandu mengerjakan penelitian itu dengan bantuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Siti Nadia Tarmizi, juru bicara vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, mengatakan studi itu mungkin masih tahap awal. Namun, mungkin jumlah lebih banyak kasus daripada yang dilaporkan secara resmi karena banyak kasus tidak menunjukkan gejala.

Dia mengatakan Indonesia memiliki pelacakan kontak yang rendah dan kurangnya laboratorium untuk memproses tes.

Berdasarkan tes darah, studi seroprevalensi mendeteksi antibodi yang muncul pada orang yang kemungkinan besar sudah terjangkit penyakit tersebut. Angka resmi sebagian besar didasarkan pada tes swab atau tes usap, yang mendeteksi virus itu sendiri dan hanya mengungkapkan mereka yang sedang terinfeksi pada saat itu.

Antibodi berkembang satu sampai tiga minggu setelah seseorang tertular virus dan menetap di dalam tubuh selama berbulan-bulan.

Pengujian Lemah

Studi seroprevalensi di negara lain, termasuk India, juga mengungkapkan penyebaran infeksi yang lebih luas.

Seorang perempuan menghembuskan napas ke dalam plastik GeNose C19 untuk tes COVID-19 sebelum mudik Lebaran, di sebuah stasiun kereta di Jakarta, 5 Mei 2021. (Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters)
Seorang perempuan menghembuskan napas ke dalam plastik GeNose C19 untuk tes COVID-19 sebelum mudik Lebaran, di sebuah stasiun kereta di Jakarta, 5 Mei 2021. (Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters)

"Sistem surveilans resmi kami, tidak dapat mendeteksi kasus COVID-19. (Sistem) ini lemah," kata peneliti utama studi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, yang memberikan komentar, tetapi tidak berwenang mengonfirmasi angka tersebut.

"Pelacakan kontak dan pengujian di Indonesia sangat buruk dan menjelaskan mengapa sedikit kasus yang terdeteksi."

Pandu, yang ikut menulis studi itu, mengatakan bahwa meskipun studi tersebut menunjukkan penyebaran virus yang lebih luas, Indonesia tampaknya masih jauh dari target mencapai kekebalan kelompok. Hal ini menjadi prioritas untuk mempercepat vaksinasi.

Menurut data pemerintah, baru 6 persen dari target 181 juta penduduk Indonesia, yang telah menerima dua dosis vaksinasi lengkap. Sebanyak 9,4 persen telah mendapatkan satu suntikan.

Hasil awal dari studi seroprevalensi terpisah di Bali, yang dilakukan oleh Universitas Udayana, mendapati 17 persen dari mereka yang diuji pada September dan November tampaknya telah terinfeksi. Peneliti utama studi itu, Anak Agung Sagung Sawitri, mengungkapkan hasil studi itu kepada Reuters.

Hasil itu 53 kali lebih tinggi dari tingkat infeksi berdasarkan kasus yang tercatat secara resmi pada periode yang sama di Bali, yang berencana dibuka kembali untuk pengunjung internasional bulan depan.

Pembukaan kembali ini ditentang oleh beberapa pakar kesehatan masyarakat, termasuk akademisi dan dokter Ady Wirawan.

"Pengujian, pelacakan, isolasi, dan karantina sangat-sangat lemah di Bali," katanya. [na/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG