Kasus infeksi COVID-19 di Indonesia, negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia, telah meningkat sejak libur Idul Fitri lalu, ketika jutaan warga Indonesia melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman mereka. Peta sebaran yang diterbitkan oleh Komite Penangangan COVID-19 atau KPC mencatat pada 14 Mei terdapat hanya 2.385 kasus baru dalam sehari, sementara pada 19 Juni angka ini telah melonjak menjadi 13.737 kasus per harinya.
Dihubungi pada Selasa (16/6/2021) oleh VOA, Dr. Budiono Santoso, seorang pengamat kesehatan publik dan mantan pemimpin the Essential Medicines and Health Technology di WHO untuk kawasan Pasifik mensinyalir kehadiran virus COVID-19 varian Delta yang jauh lebih mudah penularannya.
"Apa yang terjadi bukan saja meningkatnya kasus tetapi juga terdeteksinya beberapa varian Delta seperti yang dari India. Jadi beberapa lokasi seperti Kudus, Klaten, Solo, beberapa kasus varian Delta ditemukan dan perlu penanganan yang sangat cepat agar tidak terjadi katastropi seperti India," katanya.
Dihubungi secara terpisah pada Rabu (17/6/2021) Dr. Lily Widyastuti Hikam, pakar biomedical science dan research manager di Kalbe Farma, mengingatkan, kurang atau tidak adanya tindakan drastis pemerintah, dikhawatirkan akan semakin “menyuburkan” proses mutasi virus itu sendiri.
"Bahayanya kalau tidak ada penanganan yang drastis kita memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi virus COVID 19 ini untuk bermutasi, karena caranya virus bermutasi adalah dengan meluaskan penyebarannya, jadi semakin dia tersebar dia akan semakin sering memperbanyak diri sehingga semakin tinggi probabilitasnya untuk bermutasi," ujarnya.
Hal lainnya yang harus diwaspadai menurut Dr. Budiono adalah ketersediaan rumah sakit pemerintah yang masih dapat merawat pasien COVID-19. Di beberapa kota seperti Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Solo, kapasitas rumah sakit sudah mencapai 80%. Mengusahakan penambahan kapasitas penampungan pasien membutuhkan perjuangan besar.
"Terjadi antrian panjang panjang yang akan masuk ICU ini yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena menyiapkan rumah sakit rujukan tidak semudah seperti yang kita bayangkan misalnya menyiapkan isolasi mandiri fasilitas rumah sakit juga perlu beberapa tenaga ahli dan juga infrastruktur lain seperti laboratorium dan sebagainya."
Pendapat senada diungkapkan Dr. Lily, sistem kesehatan publik Indonesia sudah hampir mencapai kapasitasnya.
"Bed occupancy rate setidaknya di Jakarta saja sudah mencapai 80% di Bandung yang juga salah satu zona hitam malah, bukan merah lagi, rumah-rumah sakit mereka banyak yang sudah 100% bed occupancy rate-nya, itu artinya rumah-rumah sakit ini unfortunately harus menolak pasien. Bagaimana kalau ini terjadi di semua rumah sakit di Indonesia? Ini kan yang terkena dampak bukan cuman pasien COVID, akan tetapi pasien-pasien lain yang punya penyakit kronik seperti diabetes, stroke."
Mengingat kegawatan situasi ini, baik pemerintah maupun masyarakat harus siap untuk mengusahakan segala-galanya guna mematahkan gelombang serangan COVID 19 yang terbaru ini.
"Cara paling ampuh untuk menekan laju peningkatan kasus menurut saya sih lockdown tetapi pemerintah tidak menginginkan adanya lockdown, alasan utama adalah alasan ekonomi," tambahnya.
Semua tindakan preventif yang dilakukan selama ini harus ditingkatkan dan diperketat pemberlakuannya, termasuk testing, pelacakan kontak, dan percepatan laju vaksinasi virus corona.
Kantor berita Reuters melaporkan pejabat kesehatan di Indonesia sudah mengantisipasi gelombang baru infeksi virus corona akan mencapai puncaknya pada awal Juli mendatang ketika varian virus Delta, yang sangat menular menjadi lebih dominan. [jm/em]