Sejumlah elemen masyarakat menilai penanganan kabar bohong atau hoaks terkait isu kesehatan perlu dilakukan secara serius sebagai salah satu cara untuk menekan laju kasus COVID-19. Relawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Surabaya, Diana Dewi, mengatakan sulitnya penanganan pandemi corona ini tidak lepas dari maraknya hoaks yang tersebar di masyarakat melalui berbagai sarana media komunikasi.
Mafindo mencatat sejak Januari 2020 hingga Juni 2021, terdapat lebih dari 1.600 hoaks terkait COVID-19, yang mempengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap masalah kesehatan. Ia juga menekankan bahwa infodemik atau informasi yang berlebihan terhadap suatu masalah, tidak kalah berbahaya dibandingkan ancaman penyakit yang melanda dunia. Pasalnya dampak yang ditimbulkan dari disinformasi itu tidak hanya mengancam kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental.
”Infodemi ini bisa menyebabkan penyakit baru di masyarakat, bukan hanya COVID-19, bisa menyebabkan penyakit mental juga, karena kita akhirnya ketika menerima banjir informasi atau information overload itu tadi. Kita sudah tidak bisa berpikir dengan logis lagi untuk memutuskan saya harus bagaimana,” kata Diana, pada diskusi yang diadakan Mafindo, Kamis (24/6).
Hal senada juga diungkapkan anggota Tim Dokter Percepatan Penanganan COVID-19 di Bangkalan, Madura, dr Heri Munajib. Untuk kasus perebakan COVID-19 di Bangkalan, misalnya, ia menegaskan perlunya merekonstruksi total pendekatan terhadap masyarakat sekitar. Dan untuk itu diperlukan peran tokoh agama atau ulama sebagai pihak yang paling dipercaya masyarakat. Namun sayangnya sebagian di antara mereka justru menerima informasi yang tidak akurat mengenai virus corona.
”Jadi beliau-beliau itu bercerita, kita ini bukan tidak bisa diberi tahu, kita mau diberi tahu, cuma info ini sudah sedemikian derasnya sehingga masyarakat itu bingung membedakan mana yang benar mana yang salah,” kata dr Heri Munajib yang juga merupakan pengurus pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama.
“Bahkan di Madura itu ada yang namanya todus, todus itu isin, atau malu, malu kalau sampai di swab. Karena pemikiran mereka bahwa, ketika dilakukan pemeriksaan swab antigen atau swab PCR itu, adalah salah satu cara tenaga medis memasukkan virus corona ke orang Madura. Lho ini kan, tidak mudah kita mengedukasinya,” tukasnya.
Waspadai Varian Baru
Dokter Risma Ikawaty, dari Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya (Ubaya), mengatakan kepada VOA, Jumat (25/6), perlu kontrol ketat terhadap penanganan virus corona, terutama dengan munculnya sejumlah varian baru. Tingkat penyebaran varian baru yang lebih cepat harus diwaspadai, sehingga pencegahan dan penanganan yang tepat dapat mempercepat penyembuhan pasien yang terinfeksi.
”Memang varian delta ini tingkat keparahannya, kalau dia menyebabkan sakit, itu tingkat keparahannya akan lebih tinggi dibandingkan varian yang sebelumnya. Kalau saya sih melihatnya, mungkin itu dari jenis mutasinya sendiri, dia akan lebih fit terhadap reseptor yang ada di dalam tubuh manusia. Kontrolnya yang harus ketat, karena daya sebarnya, transmisinya itu memang sudah lebih tinggi,” paparnya.
Ia menambahkan, meski sebagian masyarakat tidak percaya keberadaan virus corona, vaksinasi dan disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan adalah salah satu cara yang efektif untuk melindungi masyarakat dan mencegah perebakan virus ini.
”Tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap COVID-19 itu kan masih sekitar 17 persen, sebetulnya itu cukup tinggi. Tetap sih, sebetulnya tidak ada cara lain memang, yang 5M 3T tadi itu. Tapi mungkin pola hidup sehat, ya tetap, memang itu yang tetap harus dijalankan. Yang lebih utama lagi adalah disiplin sebetulnya. Kalau dari diri kita sendiri tidak disipilin, ya itu yang agak repot,” ujarnya.
Perubahan Perilaku
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, drg Fitria Dewi, mengatakan berbagai upaya medis untuk menangani pasien COVID-19 tidak akan berguna bila masyarakat tidak mengubah perilaku hidup sehari-hari di masa pandemi. Semua lapisan masyarakat yang memiliki pengaruh dalam mengubah perilaku masyarakat, diharapkan dapat bersama-sama mengatasi perebakan virus corona.
”Kunci utama untuk mengatasi ini adalah komunikasi perubahan perilaku. Komunikasi perubahan perilaku itulah yang akan memberikan peran yang luar biasa,” katanya.
“Ya memang betul, orang mau pakai masker, orang mau tidak berkerumun, itu pasti harus diberikan informasi, ini kan suatu proses komunikasi. Komunikasi yang betul-betul bisa menyentuh, komunikasi yang efektif, komunikasi yang diberikan dengan tepat, pertama pasti akan mengubah cara berpikirnya, kemudian dia memutuskan untuk, oh iya saya sekarang mau pakai masker, itulah perubahan perilakunya, itulah yang menjadi pemutus rantai penularan COVID-19,” pungkas Fitria. [pr/ah]