Selama sekitar 20 tahun, the Democratic Voice of Burma (DVB), atau Suara Demokratik Birma – nama lain Myanmar – melakukan siaran tanpa sensor dari pengasingan ke negeri gajah putih itu. Ketika pemerintahan sipil mulai berkuasa pada 2011, media independen itu akhirnya bisa membuka kantor di Yangon, kota terbesar di Myanmar.
Namun, langkah maju untuk kebebasan media itu mengalami kemunduran lagi pada Februari ketika militer mengambil alih kekuasaan dan segera mengarahkan perhatiannya pada pers di negara itu. Internet dibatasi, puluhan jurnalis dipenjarakan, dan lebih dari 10 media, termasuk DVB, izinnya dicabut.
“Kami menjadi ilegal di negara ini. Militer mencabut izin kami, tidak hanya itu, tetapi juga menjadikannya ilegal untuk membuat produk media apapun, termasuk Facebook, YouTube, dan media sosial,” kata redaktur DVB, Aye Chan Naing, kepada VOA dari sebuah lokasi tersembunyi.
“Langsung setelah kudeta, satu jam setelah kudeta, mereka mencabut izin kami,” katanya.
Lebih dari lima bulan sudah berlalu sejak kudeta militer Myanmar memicu pemberontakan besar ketiga dalam tiga dekade. Setelah ratusan pemrotes pro-demokrasi tewas dan ribuan ditahan, negara itu berada dalam krisis.
Di tengah-tengah penumpasan oposisi ini, junta yang berkuasa memfokuskan perhatian pada pemberangusan media independen Myanmar.
Sejak 1 Februari lalu sedikitnya 89 wartawan telah ditangkap, sementara 36 lainnya masih berada dalam tahanan, demikian menurut kelompok Facebook, “Detained Journalist Information dan Reporting ASEAN,” sebuah organisasi yagn mendokumentasi penumpasan dan berita-berita yang tidak dilaporkan dari Asia.
Sepuluh wartawan dibebaskan minggu lalu sebagai bagian dari pembebasan sekitar 2.300 orang. Kantor berita Associated Press mengutip Deputi Urusan Media Mayjen. Zaw Min Tun mengatakan mereka yang dibebaskan ikut serta dalam protes tetapi tidak dalam kekerasan. Kementerian Informasi Myanmar juga merilis pernyataan yang menyatakan, Dewan Administratif Negara memegang kendali karena keadaan darurat. [jm/em]