Merebak luasnya kasus varian Delta di Indonesia menimbulkan pertanyaan terhadap kemanjuran vaksin CoronaVac buatan Sinovac. Apalagi setelah laporan meninggalnya sejumlah tenaga kesehatan walaupun telah divaksinasi penuh Sinovac.
Keraguan terbersit di benak banyak warga, termasuk Ismayanti, usia 25 tahun, yang ditemui di Jakarta.
“Dari awal saya memang ragu. Soalnya WHO khan tidak langsung mendukung atau mengakui Sinovac itu manjur. Kayaknya baru-baru ini saja. Kalau pun sudah dikeluarkan izin WHO, saya masih belum mau pakai. Apalagi banyak yang dokter yang meninggal kena COVID walaupun sudah divaksin Sinovac dua kali. Jadi walau pun sekarang sudah dibuka kesempatan untuk semua yang berusia 18 tahun ke atas, saya tetap mau mencari kesempatan kalau bisa bukan Sinovac. Kalau yang sekarang dibuka untuk siapa saja, pasti Sinovac. Saya tidak ngejar (tidak mengupayakan untuk vaksinasi.red).”
Demikian pula dengan seorang warga lain yang mengaku enggan menerima vaksinasi Sinovac. Wahyu Jaya, 30 tahun, seorang karyawan di Jakarta menyebut tingkat efikasi yang tidak sebanding dengan vaksinasi COVID-19 lain sebagai penyebabnya.
Tingkat efikasi Sinovac di berbagai negara beragam, mulai dari 50 persen dalam uji klinis di Brazil, 65 persen di Indonesia, hingga 84 persen di Turki.
“Kalau hanya segitu keampuhannya, untuk apa dimasukkan ke dalam tubuh saya? Dan berhubung saya sudah pernah mengalami gejala COVID dan lewat tes antigen hasilnya positif, saya ingin yang pasti-pasti saja... Saya siap menerima vaksin, tapi kalau bisa jangan Sinovac ini,” ujar Wahyu.
Seorang warga lainnya, Aik Sardie, yang berusia 48 tahun, awalnya juga tidak bersedia divaksin dengan Sinovac. Tetapi hal itu lebih karena kurangnya informasi yang didapatkannya dari petugas kesehatan.
“Saya berupaya mencari informasi soal vaksin yang diberikan, tetapi tidak pernah memuaskan. Padahal saya ini komorbid, punya darah tinggi. Jadi saya inginnya tidak memakai vaksin Sinovac.”
LaporCOVID-19 : Sepertiga Warga Jakarta Ragu Divaksinasi
Menurut kajian LaporCOVID bersama Universitas Indonesia dan Nanyang Technology University NTU Singapura akhir Juni lalu, sepertiga warga DKI Jakarta yang diteliti masih merasa ragu divaksinasi, baik karena alasan halal tidaknya vaksin, efek samping, kemanjuran, hingga aksesibilitas vaksin.
Kajian dilakukan tim LaporCOVID antara 30 April-15 Mei atas 47.457 responden di seluruh wilayah ibu kota, dengan mengukur kecenderungan umum kekhawatiran, kerentanan, hambatan dan manfaat vaksinasi. Tujuh puluh koma sembilan puluh lima persen responden mengaku tidak memiliki penyakit komorbid.
Hasilnya menunjukkan bahwa satu dari tiga responden itu atau 10.789 orang, khawatir vaksin COVID-19 tidak halal. Isu kehalalan vaksin ini tidak saja menjadi keprihatinan warga Muslim, tetapi juga responden non-Muslim.
Sekitar 34 persen responden atau 16.102 orang khawatir dengan kemanjuran vaksin, dan 32 persen responden atau 14.889 takut akan efek samping vaksin atau kejadian ikutan pasca imunisasi KIPI. Sebagian besar responden yang berusia 50-60 tahun (pra-lansia) yang berprofesi sebagai TNI/Polri dan tenaga kesehatan adalah yang paling khawatir terkena efek samping vaksin COVID-19.
Ketika riset ini dilakukan pemerintah Indonesia sedang menggalakkan vaksinasi dengan vaksin utama Sinovac. Dua vaksin lainnya yang juga diluncurkan baru-baru ini adalah Sinopharm dan AstraZeneca.
Ketiga vaksin ini sudah melalui uji klinis dan mendapat ijin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM dengan tingkat efikasi masing-masing. Majelis Ulama Indonesia MUI juga telah menyatakan ketiga vaksin halal dan boleh digunakan, meskipun sertifikasi vaksin Sinopharm dan AstraZeneca sempat mengalami proses lebih rumit karena proses penelitiannya dikabarkan menggunakan tripsin babi.
Salah seorang peneliti LaporCOVID-19, Dicky Pelupessy PhD, mengatakan bahwa 34 persen responden di 10 kelurahan dengan jumlah penerima vaksin terbanyak di DKI Jakarta, diketahui ragu dengan kemanjuran vaksin yang diberikan. Kelurahan itu mencakup Keagungan, Lubang Buaya, Cakung Barat, Angke, Cawang, Pondok Pinang, Utan Kayu Selatan, Kayu Putih, Bidara Cina, dan Kebon Melati.
Sebagian Warga Tetap Percaya Sinovac
Namun demikian sebagian warga tetap percaya dengan kemanjuran vaksin, bahkan serius mencari informasi sejak program vaksinasi pertama kali digelar. Salah seorang diantaranya Septi Diah, pegawai swasta di Jakarta yang berusia 28 tahun.
“Sejak awal pandemi aku sudah niat banget untuk divaksin, tidak lagi mikir vaksinnya dari produsen mana atau apa merknya karena kita sedang dalam keadaan yang tidak biasa. Jadi menurut saya sekarang ini bukan saatnya untuk pilih-pilih,” ujar Septi.
Hal senada disampaikan Ray Indra, pemilik usaha kecil berusia 34 tahun.
“Saya pada dasarnya tidak masalah menggunakan vaksin apapun, karena sebelumnya istriku sudah divaksin menggunakan AstraZeneca dan melihat efek sampingnya. Nah setelah itu saya divaksin mandiri dengan Sinovac. Di kondisi sekarang yang cukup sangat darurat, apalagi varian Delta ngeri banget dan beberapa teman banyak yang kena, ya gak ada salahnya menggunakan vaksin Sinovac. Demi imun tubuhku. Meskipun ada teman-teman yang sudah divaksinasi dua kali dengan Sinovac tetap kena, tapi gejalanya tidak seperti mereka yang tidak divaksin,” ujar Ray.
Di bulan Mei, pemerintah mengeluarkan hasil studi di antara nakes yang mengungkap vaksin CoronoVac buatan Sinovac dapat menurunkan risiko terkena COVID-19 bergejala hingga 94 persen dan 96 persen efektif mengurangi risiko harus dirawat di rumah sakit.
Pemerintah Semakin Dorong Laju Vaksinasi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menyaksikan secara virtual kedatangan lebih dari tiga juta vaksin Moderna dari pemerintah Amerika lewat mekanisme COVAX hari Minggu (11/7), mengatakan hingga hari Sabtu (10/7) sudah lebih dari 50 persen warga di DKI Jakarta yang divaksinasi satu dosis vaksin COVID-19. Angka ini menambah total warga yang sudah divaksinasi satu dosis vaksin di tingkat nasional menjadi 38 juta orang atau berarti sekitar 20 persen dari 181,5 juta orang yang menjadi target vaksinasi.
Seiring tambah beragamnya vaksin yang diterima Indonesia, Budi Gunadi mengatakan akan berupaya mempercepat laju vaksinasi.
“Di bulan Juni kita menerima 70 juta dosis. Pada semester kedua ini akan ada lebih dari 290 juta dosis suntikan yang datang dan harus disuntikkan dalam enam bulan. Jadi laju suntikan akan lebih cepat,” paparnya. Jika sebelumnya inokulasi 10 juta vaksin pertama membutuhkan waktu delapan minggu dan 10 juta kedua dalam empat minggu, “maka 10 juta yang terakhir ini diselesaikan dalam 12 hari.”
Dengan vaksin Moderna sumbangan pemerintah Amerika lewat mekanisme COVAX yang tiba hari Minggu (11/7), Indonesia telah memperoleh 122.735.260 dosis vaksin, baik vaksin curah maupun vaksin jadi. Perinciannya adalah :
- Vaksin Sinovac, sebagian besar dalam bentuk curah, berjumlah 108.500.000 dosis.
- Vaksin AstraZeneca dari jalur COVAX, berjumlah 8.236.800 dosis.
- Vaksin Sinopharm berjumlah 2.000.000 dosis vaksin jadi, termasuk 500.000 diantaranya dukungan dari Uni Emirat Arab.
- Vaksin AstraZeneca berjumlah 998.400 dosis yang merupakan dukungan pemerintah Jepang.
- Vaksin Moderna berjumlah 3.000.060 dosis yang merupakan dukungan Amerika melalui COVAX. [em/aa]