Kemarahan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-O-Cha makin meningkat karena lambatnya peluncuran vaksin COVID-19.
Baru 5 persen warga Thailand yang divaksinasi di tengah gelombang pandemi virus corona paling mematikan yang melanda negara itu, sementara para pejabat kesehatan memperingatkan skenario yang terburuk mungkin belum terjadi.
Thailand mencapai jumlah rekor kasus baru COVID-19, yaitu 11.305 pada Selasa (20/7), dan menambah rekor jumlah kematian yang suram, yaitu 3.408 sejak April. Kerajaan itu sempat menuai pujian karena berhasil memadamkan pandemi pada babak-babak sebelumnya.
Gelombang wabah yang merebak sejak April telah menghidupkan kembali tantangan politik bagi Prayuth, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 2014, dan yang tahun lalu berhasil memadamkan protes pro-demokrasi selama berbulan-bulan, membekap gerakan itu dengan tuntutan hukum dan tanggapan keras dari polisi.
Bahkan para ahli medis senior sekarang mengakui kerajaan itu terperangkap dalam gelombang infeksi terbaru dan telah menyaksikan peluncuran vaksin yang lamban, dengan hanya sekitar 3,5 juta dari 70 juta penduduknya yang telah divaksinasi sepenuhnya sejauh ini.
Sementara lonjakan kasus virus corona mengancam janji pemerintah untuk membuka kembali kerajaan itu untuk turis pada Oktober, pengunjuk rasa kini kembali ke jalan-jalan di Bangkok.
Lebih dari 1.000 orang pada Minggu (18/7) menentang penutupan ibu kota yang berlaku hampir di semua daerah, dan perintah darurat yang melarang pertemuan lima orang atau lebih. Mereka menuntut pemerintah mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa yang membakar patung Prayuth di dekat Gedung Pemerintah disambut dengan gas air mata, meriam air dan peluru karet yang ditembakkan oleh polisi anti huru hara.
Para demonstran mengatakan peluncuran vaksin yang gagal adalah contoh utama dari pemerintahan Prayuth yang “kurang serius.” [lt/em]