Terorisme adalah ideologi global, begitu pula uang yang membiayainya. Indonesia menerima miliaran dana teror, begitupun sebaliknya, kiriman rupiah juga mengalir ke negara-negara konflik.
Kisah Hendro Fernando, mantan teroris yang tergabung dalam Mujahidin Indonesia Timur (MIT) bisa menjadi gambaran kecil untuk mewakili peta besar kelindan uang untuk ongkos teror. Hendro sempat dipenjara di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah dan baru bebas November 2020. Dia bergabung dengan MIT dan memiliki tugas untuk mengalirkan dana teror dari dan ke Indonesia sepanjang 2014-2016.
Ada satu cerita, ketika Hendro meminta dana Rp1,3 miliar rupiah ke Amir ISIS di Suriah. Dana itu dihitung sesuai kebutuhan logistik untuk jaringan MIT Santoso selama bertahan di pegunungan di Sulawesi Tengah. Uang itu ada di Turki, dan Hendro diminta mengambilnya secara tunai. Tentu bukan tugas mudah, harus ada siasat teknis karena tidak mungkin membawanya langsung. Dia akhirnya mengirim satu orang ke Turki untuk mengambil uang itu dan mengirimnya ke Indonesia.
“Kita menemukan cara menggeser dana tersebut dengan waktu sekitar seminggu, yaitu dengan penggeseran dana melalui Western Union. Kita pecah dana tersebut di berbagai data. Saya mengumpulkan sepuluh data penerima. Akhirnya masuklah dana tersebut ke Indonesia,” ujar Hendro.
Kisah itu dia paparkan dalam diskusi daring terkait modus donasi pendanaan teror. Diskusi diselenggarakan Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat (13/8) sore.
Hendro juga memberi contoh bagaimana modus berbeda dilakukan. Ketika seorang warga Indonesia di Suriah masih memiliki aset di Tanah Air, MIT akan mengambil aset tersebut. Pada saat yang sama, pimpinan ISIS di Suriah akan mengganti sejumlah uang kepada pemilik aset, yang juga WNI itu. Tidak ada perjalanan uang lintas negara dalam sistem ini, tetapi pendanaan teroris tetap bisa berjalan.
“Ini teknisnya sampai sekarang mungkin masih ada,” ujar Hendro.
Transaksi Mencurigakan Naik
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Dr Dian Ediana Rae mengaku jumlah transaksi mencurigakan yang dilaporkan ke lembaga itu cukup besar, dan terus bertambah.
“Kalau kita lihat pada tahun 2016 masih sekitar 340 laporan, maka pada tahun 2020 ini sudah mencapai angka 1.122 laporan. Ini laporan transaksi keuangan yang terkait dengan masalah pendanaan terorisme,” kata Dian.
Tentu, perkembangan ini bukan berita baik. Dian menegaskan fenomena ini sebuah tanda bahwa persoalan-persoalan terkait terorisme dan pendanaan terorisme di Indonesia, masih cukup serius. Dari laporan yang ada, analisis hasil pemeriksaan yang dilaporkan PPATK juga terus bertambah.
“Pada 2016 PPATK selama satu tahun penuh hanya menyampaikan 36 hasil analisis dan pemeriksaan kepada Densus 88, Badan Intelijen Negara dan BNPT. Pada 2020 meningkat menjadi 99 hasil analisis yang dilaporkan ke lembaga-lembaga tersebut,” tambah Dian.
Dian berpesan, seluruh pihak terkait harus lebih waspada terhadap hal ini.
Model Kotak Amal
Dr Wachid Ridwan, Sekretaris BPET MUI Pusat, juga mengingatkan ada kondisi yang jika tidak diatasi dengan baik, maka dampaknya cukup mengkhawatirkan.
Mengutip sebuah penelitian, Ridwan menyebut ideologi radikal di Indonesia berkembang begitu cepat, hingga 5,08 persen per tahun. Untuk mengerem laju tersebut dibutuhkan aspek pengurangnya, seperti sikap toleran. Jika aspek pengurang ini kecil, radikalisme diproyeksikan akan meningkat tajam hingga tahun 2030.
Salah satu yang mendukung terorisme, tentu saja pendanaan. Ada setidaknya 60 macam model pencarian dana di kalangan teroris. Salah satunya ternyata dalam skema sederhana, yaitu pengumpulan sumbangan melalui kotak amal di warung-warung.
“Ini fakta. Ada puluhan ribu kotak amal sumber pendanaan kelompok teroris JI, terungkap dengan ditangkapnya Fitria Sanjaya alias Acil. Ini fakta, kita tidak bisa membantah apalagi berpikir ini konspirasi,” ujar Wachid.
Sumbangan Besar untuk Terorisme
Model pengumpulan sumbangan untuk kegiatan teror, bukan hanya ada di Indonesia. Garnadi Walanda, penulis buku Pendanaan Terorisme di Indonesia memberi contoh sejumlah aksi serupa di belahan dunia lain. Salah satunya adalah kelompok pro-Khalistan di perbatasan India dan Pakistan.
Kelompok ini serong melakukan serangan teroris di kawasan Asia Selatan. Pendanaan mereka lakukan melalui organisasi bernama Sikhs for Justice. Selain itu, tentu saja skema ini juga diterapkan Taliban.
“Menurut laporan Center for Afghanistan Studies, pada tahun 2021 kelompok Taliban menerima dana dari seluruh dunia. Jumlahnya itu sangat besar, hingga $200 juta setiap tahunnya,” kata Garnadi.
Kelompok lain dengan modus serupa adalah Harkat-ul-Jihad-al Islami Bangladesh. Mereka mengumpulkan dana untuk mendirikan madrasah, menyewa tanah dan membangun pusat-pusat pelatihan bagi anak-anak itu.
“Lembaga nirlaba memang rentan sekali karena mereka memiliki risiko tinggi apabila mereka beroperasi di dekat atau dalam area konflik, di mana ada ancaman serangan teroris aktif,” tambah Garnadi.
Tidak hanya organisasi nirlaba, gerakan teroris bahkan juga membangun korporasi atau unit usaha. Di Indonesia, praktik ini diterapkan oleh Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansaru Daulah. Garnadi menyebut ini sebagai korporasi selubung yang bekerja di bawah organisasi teror untuk mencari pendanaan.
Masyarakat yang memberikan donasi melalui lembaga tertentu, semestinya menelisik lebih jauh bagaimana transparansi penggunaan dana tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan Garnadi, terungkap bahwa ketika menerima donasi dari pubik, tidak semua dana digunakan untuk kepentingan sosial.
“Banyak yang ditempatkan untuk bisnis, investasi dan kebutuhan pribadi.Inilah hal-hal yang menjadi catatan yang baik untuk diketahui, bahwa kita sebagai komunitas harus membentuk lingkungan yang kuat untuk mencegah hal ini terjadi,” tambahnya.
Koordinasi Pemerintah Penting
Salah satu lembaga yang mengumpulkan dana dari masyarakat adalah Lembaga Amal Zakat Infaq dan Shodaqah Muhammadiyah (LAZIS MU). Sabeth Abilawa dari lembaga ini mengatakan, masyarakat Indonesia memang mudah untuk diajak memberikan sumbangan.
Dalam sebuah survei terungkap, 95 persen lebih masyarakat Indonesia menyumbang karena alasan agama.
LAZIS MU juga terlibat dalam pengumpulan dana bantuan untuk komunitas lain di luar negeri.
Menurut pengalaman Sabeth, ada kondisi yang berbeda antara pengelolaan dana dalam penanganan bencana dan konflik. Dalam bencana, semua menjadi lebih mudah diterima. Sedang dalam konflik, persoalan menjadi lebih rumit, terutama karena ada faksi yang terlibat, dan masyarakat awam yang menjadi korban di tengah-tengahnya.
Agar tidak terjerumus turut mengirim dana untuk gerakan teror, Sabeth merekomendasikan sejumlah langkah. Salah satunya adalah melakukan pengecekan, siapa atau lembaga apa yang menjadi mitra lokal di negara tempat konflik itu berlangsung. Jangan sampai, orang atau lembaga itu masuk dalam daftar terlarang.
“Kalau terkait dengan sumbangan untuk Palestina, Syria, Myanmar, Somalia, dan Yaman, kita harus benar-benar memastikan daftar DPO di BNPT yang dikeluarkan tiap tahun, harus kita cek. Apakah mitra kita masuk dalam daftar itu atau tidak,” ujar Sabeth.
Jika lalai mengecek daftar tersebut, bukan tidak mungkin lembaga pengumpul sumbangan dari Indonesia akan menghadapi masalah. Pengiriman dana bantuan dapat terdeteksi oleh PPATK. Akan lebih baik, kata Sabeth, jika lembaga dalam negeri berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan asosiasi.
“Model ideal sudah dilakuan dalam kasus Rohingya, kita berkoordinasi dengan Kemenlu dan membentuk asosasi Indonesian Humanitarian Aliance. Presiden Jokowi sendiri yang menyerahkan sumbangan tersebut,” lanjut Sabeth.
Dia juga mengingatkan, karena sumbangan adalah soal kepercayaan, jika sebuah lembaga bermasalah, misalnya karena diduga mendukung gerakan teror, maka kepercayaan ke lembaga lain akan menurun.
Sabeth mengusulkan adanya perbaikan regulasi yang mengatur keberadaan lembaga pengumpul dana masyarakat. Selain itu, penting juga untuk membentuk lembaga independen untuk memeringkat lembaga filantropi, sehingga mendorong masyarakat menyumbang di lembaga terpercaya
Masyarakat Indonesia masuk dalam sepuluh besar warga dunia yang ringan tangan memberi sumbangan. Namun, bisa jadi kemurahan hati itu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk tujuan-tujuan yang justru melawan hati nurani publik. Koin yang bergemerincing di kotak-kotak depan kasir warung itu, bisa menjelma menjadi pelor di negeri asing ataupun tanah air sendiri, yang memberangus rasa kemanusiaan. [ns/ah]