Sejumlah peneliti di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Yogyakarta, meluncurkan mobil layanan pemeriksaan TB. Inisiatif ini didorong oleh gerakan Zero TB UGM dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Menyadari bahaya dan risikonya, penanganan TB dilakukan selayaknya COVID-19, yaitu dengan aktif melakukan skrining dan tracing di masyarakat.
Menteri Koordinator Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhajir Effendi meresmikan layanan bergerak ini, Jumat (3/9), di Yogyakarta. Dia bahkan turut memeriksakan paru-parunya, untuk melihat potensi TB sekaligus mencoba layanan tersebut.
“Ketika saya diperiksa di dalam mobil, ternyata monitor yang di luar, yang dipegang dokter sudah bisa tahu kondisi saya. Sehingga ketika saya turun dari mobil, saya langsung bisa tahu kondisi paru-paru saya,” kata Muhajir di Yogyakarta, Jumat (3/9).
Muhajir terkesan akan kecepatan dan akurasi pemeriksaan. Dia juga menilai, layanan menggunakan mobil untuk TB ini praktis dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibanding rontgen konvensional. Mobil ini memang menerapkan teknologi baru seperti virtual reality dan artificial intelegence. Prakarsa gerakan Zero TB UGM dan Pemkot Yogyakarta merupakan yang pertama di Indonesia.
“Nanti akan saya kaji, kalau memang sangat visible bisa didiseminasi, artinya bisa digunakan untuk wilayah-wilayah yang lain,” tambah Muhajir.
Kemenko PMK juga akan meminta Kementerian Kesehatan untuk mengkaji inovasi ini, dan bisa mereplikasi. Lebih jauh, jika dimungkinkan bisa menjadi bagian dari program pengentasan TB di Indonesia, sesuai Perpres No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Catatannya, kata Muhajir, adalah upaya agar biaya peralatan dapat ditekan agar dapat digunakan secara masif.
“Karena kita punya target, tahun 2030 kita bisa bersih dari TB sesuai perintah Pak Presiden,” tambahnya.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi memastikan pihaknya akan mulai melakukan skrining TB bergerak di setiap Kemantren (kecamatan). Upaya ini merupakan strategi untuk menemukan kasus sekaligus melakukan pemetaan TB. Hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun zonasi TB di Yogyakarta, termasuk strategi penanganannya.
"Pola penanganan TB ini mengikuti pola penanganan COVID-19, yaitu dengan memperbanyak skrining dan tracing,” ujar Heroe.
Dalam tiga bulan terakhir, skrining TB bergerak telah dilakukan di tiga kemantren, yaitu Gondomanan, Keraton, dan Mergangsan. Dari ketiga wilayah tersebut, ditemukan terduga TB sejumlah 66 orang.
Jika warga telah terkonfirmasi positif TB, penanganan akan diterapkan sesuai prosuder yaitu pemberian obat. Mereka yang tinggal bersama penderita TB juga akan memperoleh perhatian karena kemungkinan besar telah turut terpapar.
Seperti dalam penanganan COVID-19, setelah ditemukan kasus dan data tersusun, wilayah akan dibagi dalam tiga zona, yiatu merah, kuning dan hijau. Pola penanganan kasus di setiap zona akan ditetapkan kemudian, menyesuaikan kondisinya.
Jika upaya ini terus dilakuukan, Heroe berharap kasus TB di Yogyakarta dapat ditekan.
Zero TB Yogyakarta dipimpin oleh dr. Rina Triasih dari FKKMK UGM, dan diinisiasi sejak 2019. Sejumlah kondisi mendorong munculnya inisiatif ini, seperti catatan kasus TB tahun 2017 yang menemukan 3.513 kasus. Padahal, ada perkiraan insiden kasus 11.463, yang bermakna Yogyakarta baru bisa mengidentifikasi sekitar 30 persen dari jumlah kasus yang diperkirakan.
Menurut Rina Triasih, upaya skrining dengan mobil ini memanfaatkan teknologi artificial intelegence. Rontgen paru yang dilakukan akan menemukan kondisi awal, yang kemudian akan diperiksa oleh dokter dan juga bantuan teknologi tersebut. Jika kondisi seseorang mengarah pada TB, dan disebut sebagai terduga TB, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan melalui dahak. Pemeriksaan dahak penting untuk memastikan karena harus ditemukan bakteri TB di dahak pasien.
“Kita mengumpulkan saja hasil dahaknya untuk diperiksa ke rumah sakit,” kata Rina.
Hanya dibutuhkan hitungan menit untuk melakukan pemeriksaan di mobil ini. Sebagaimana COVID-19, TB juga menular ke kontak terdekat penderita. Proses penularan bisa terjadi dalam jangka panjang, karena itu tindakan penemuan kasus menjadi sangat penting.
Di Indonesia saat ini setidaknya ada 860 ribu warga dengan TB. Seperti beberapa jenis penyakit menular lain, diyakini ini adalah fenomena puncak gunung es. Ada jauh lebih banyak kasus di lapangan yang belum bisa dideteksi.
Zero TB Yogyakarta sendiri menerapkan strategi skrining dengan sejumlah indikator, seperti daerah berpenduduk padat, daerah dengan akses kesehatan terbatas, dan daerah dengan kasus TB tinggi. Skrining juga memprioritaskan tenaga kesehatan, kontak erat pasien TB, balita peserta Posyandu, dan penghuni asrama/kos.
Pasien TB di Indonesia sendiri sudah masuk dalam Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) dan Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) tahun 2018-2020. Data ini juga menjadi dasar upaya skrining. Pemeriksaan kontak erat pasien TB menjadi bagian penting dari strategi memutus rantai penularan.
Mereka yang berada dalam lingkaran terdekat penderita TB, selayaknya mengikuti program pencegahan dengan mengonsumsi obat. Tetapi, kata Rina, upaya ini sangat sulit.
“Karena mereka menganggap dirinya tidak sakit, tetapi dipaksa minum obat rutin selama tiga bulan,” tambah Rina. [ns/ka]