Korea Utara menguji coba dua rudal balistik jarak pendek pada Rabu (15/9). Ini merupakan peluncuran kedua dalam waktu kurang dari sepekan dan upaya nyata terbaru untuk meningkatkan tekanan diplomatik terhadap AS.
Militer Korea Selatan, yang memantau peluncuran tersebut, menyatakan, rudal-rudal itu terbang sejauh 800 kilometer, mencapai ketinggian 60 kilometer, sebelum jatuh ke laut di lepas pantai timur negara itu.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato mengatakan pemerintahnya semula menyatakan rudal-rudal itu mendarat di luar Zona Ekonomi Eksklusif Jepang di Laut Jepang, tetapi pemerintah masih menyelidiki dan belum mengidentifikasi lokasi persisnya.
Kato mengatakan pemerintah Jepang mengatakan kepada Korea Utara melalui kedutaan besar Jepang di Beijing bahwa Jepang mengecam keras penembakan itu. Jepang telah bekerja sama erat dengan kedutaan besar AS dan Korea Selatan sejak penembakan tersebut, lanjutnya.
Dalam sebuah pernyataan, Komando Indo-Pasifik militer AS mengemukakan bahwa peluncuran itu “menyoroti dampak destabilisasi” dari program senjata terlarang Korea Utara.
Belum jelas benar apa jenis rudal yang diluncurkan. Korea Utara telah menguji coba beberapa jenis rudal balistik jarak pendek baru sejak 2019.
Peluncuran itu berlangsung dua hari setelah Korea Utara mengklaim telah menguji coba sebuah rudal jelajah jarak jauh baru. Ini adalah uji coba rudal pertama yang diketahui dilakukan Pyongyang dalam waktu sekitar enam bulan ini.
Akhir bulan lalu, Badan Energi Atom Internasional PBB menyatakan Korea Utara tampaknya belakangan ini telah menghidupkan kembali reaktor nuklir penghasil plutonium di Yongbyon.
Langkah ini menunjukkan Korea Utara sedang berupaya meningkatkan daya tawarnya dengan AS, di tengah-tengah kebuntuan pembicaraan nuklir, kata beberapa analis. Korea Utara telah sering terlibat dalam diplomasi setelah meningkatnya ketegangan melalui ancaman lisan atau uji coba senjata.
Peluncuran terbaru itu berlangsung bersamaan dengan kunjungan utusan khusus AS untuk Korea Utara Sung Kim ke Tokyo. Sung bertemu dengan sejawatnya dari Korea Selatan dan Jepang.
Pada Selasa, utusan AS itu mengulangi tawaran Washington untuk memulai kembali pembicaraan tanpa prasyarat, dengan mengatakan AS siap bekerja sama dengan Korea Utara dalam isu-isu kemanusiaan “terlepas dari kemajuan dalam soal denuklirisasi.”
Tetapi Park Won-gon, profesor Kajian Korea Utara di Ewha Womans University di Seoul, mencatat bahwa jenis pernyataan semacam itu tampaknya tidak memuaskan Korea Utara.
Meskipun pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menyatakan kesediaan untuk memulai pembicaraan dengan Korea Utara, sebagian besar fokusnya adalah masalah lain, seperti penarikan pasukan AS dari Afghanistan dan upaya-upaya untuk memberantas COVID-19.
“Korea Utara menyatakan ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Biden yang masih dalam kebijakan sangat pasif terhadap Korea Utara atas nama kebijakan Korea Utara yang hati-hati dan kolaboratif,” kata Bong Young-shik, peneliti di Institut Kajian Korea Utara di Yonsei University, Seoul.
Faktor lainnya, kata Bong, kemungkinan adalah pemilihan presiden mendatang di Korea Selatan. Sejauh ini, kampanye pemilu di sana hanya menampilkan sedikit sekali diskusi mengenai Korea Utara. Para kandidat malah lebih fokus pada ekonomi dan kebijakan mengenai COVID-19.
“Pimpinan Korea Utara pasti telah memutuskan untuk meningkatkan level provokasi sebagai cara untuk mendapatkan lebih banyak perhatian dari semua pihak yang relevan,” ujarnya.
Korea Utara juga mungkin melakukan uji coba rudal itu sebagai upaya untuk mengimbangi perluasan arsenal negara tetangganya, Korea Selatan, yang baru-baru ini meluncurkan teknologi rudal balistik barunya.
Hari Rabu, pada hari peluncuran rudal balistik Korea Utara, Korea Selatan mengumumkan uji coba pertama di bawah air rudal balistik kapal selam (SLBM).
Korea Utara belum mengomentari uji coba Korea Selatan, tetapi telah berulang kali mengeluh dalam beberapa bulan ini mengenai peningkatan kekuatan militer Seoul.
Hampir sepanjang tahun ini, Korea Utara berfokus pada masalah domestik, termasuk di antaranya bencana alam, pencegahan pandemi, dan kekurangan bahan makanan. Karena krisis tersebut masih ada, beberapa analis memperkirakan Korea Utara mungkin menahan diri dari provokasi besar yang risikonya akan membuat negara itu semakin terkucil secara ekonomi dan diplomatik.
Juni lalu, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan negaranya siap untuk “dialog dan konfrontasi” dengan AS.
Beberapa bulan kemudian, Korea Utara sempat membuka kembali beberapa jalur komunikasi dengan Korea Selatan, menimbulkan harapan bahwa Pyongyang akan memasuki tahap baru diplomasi. Tetapi Korea Utara memutuskan jalur komunikasi itu hanya beberapa hari kemudian, setelah Korea Selatan dan AS melanjutkan latihan militer bersama yang dianggap Pyongyang sebagai provokasi. [uh/ab]