Tautan-tautan Akses

Pastor Keuskupan Timika Desak Gencatan Senjata di Intan Jaya


Kondisi bangunan, satu unit mobil tangki, ambulans dan bangunan yang ada di Bandara Bilogai, Kabupaten Intan Jaya, Papua, yang dibakar KKB, Jumat 29 Oktober 2021. (Foto: Courtesy/Polda Papua)
Kondisi bangunan, satu unit mobil tangki, ambulans dan bangunan yang ada di Bandara Bilogai, Kabupaten Intan Jaya, Papua, yang dibakar KKB, Jumat 29 Oktober 2021. (Foto: Courtesy/Polda Papua)

Kabupaten Intan Jaya, Papua kembali bergejolak. Pasukan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) beradu tembak di tengah kota. Para Pastor Projo Gereja Katolik Keuskupan Timika mendesak gencatan senjata.

Baru pada 12 Oktober lalu, Ketua Unio atau organisasi para imam/konfrater Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Dominikus Dulione Hodo Pr berada di Intan Jaya. Rombongan pastor datang ke sana untuk mentahbiskan tiga imam baru di gereja setempat. Acara berlangsung hikmat, dengan peran serta dan dukungan semua orang, baik masyarakat maupun petugas keamanan. Pastor Dominikus menggambarkan acara pesta imani ini berlangsung penuh sukacita dan amat indah.

Ketua Unio Keuskupan Timika, Pastor Dominikus Dulione Hodo Pr dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Ketua Unio Keuskupan Timika, Pastor Dominikus Dulione Hodo Pr dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Karena itulah, dia kaget ketika saat ini Intan Jaya bergejolak dengan adu senjata dan pembakaran sejumlah bangunan. “Sangat disayangkan, pasca kegiatan itu, Intan Jaya kembali bergejolak. Ketentraman dan damai sekejap hilang lenyap, lantaran baku tembak antara TNI/Polri melawan TPN-OPM, dan baku tembak itu terjadi di tengah kota,” kata Pastor Dominikus. Pernyataan Sikap 36 Imam

Situasi itulah, yang mendorong para Imam Projo Keuskupan Timika untuk bersikap. Pernyataan keprihatinan dan ajakan damai itu disampaikan 36 Imam Projo, Minggu (31/10) di rumah transit Bobaigo, Keuskupan Timika, Papua. Pastor Agustinus S. Elmas, yang membacakan pernyataan resmi 36 Imam Projo mengatakan, kekerasan bersenjata telah mengakibatkan banyak korban, termasuk anak-anak. Selain itu, konflik juga mengakibatkan pengungsian dalam skala besar.

Pastor Agustinus S. Elmas dan pernyataan 36 Imam Projo dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Pastor Agustinus S. Elmas dan pernyataan 36 Imam Projo dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

"Maka para Pastor Projo Keuskupan Timika, demi kewajiban kami untuk praktikkan hak asasi manusia, berseru kepada kedua belah pihak yang sedang berperang, TNI/Polri dan TPN-OPM, agar segera mengadakan gencatan senjata dan memulai dialog untuk mendatangkan damai sejahtera yang lestari,” kata Pastor Agustinus.

Jalankan Fungsi Imam

Sementara itu, Pastor Amandus Rahadat, yang merupakan Pastor Paroki Katedral Tiga Raja menyebut, sikap para pastor ini sesuai dengan tugas mereka. Jangan sampai disalahpahami bahwa pernyataan ini sebagai upaya ikut campur dalam persoalan politik.

Menurut Amandus, seorang pastor memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi dirinya sebagai imam yang memimpin kegiatan doa-doa, dan kegiatan liturgi bersama umat. Tugas kedua adalah mengelola kondisi umatnya. Mengatur semua hal yang perlu, agar umatnya bisa hidup dengan baik.

Pastor Amandus Rahadat, Pastor Paroki Katedral Tiga Raja dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Pastor Amandus Rahadat, Pastor Paroki Katedral Tiga Raja dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Tugas ketiga itulah tugas nabi, tugas nabi adalah memperhatikan semua yag terjadi di masyarakat dan bilamana unsur keadilan, kebenaran, kejujuran diinjak oleh sesiapapun, oleh pemerintah, oleh TNI/Polri, oleh TPM-OPM, seorang Imam tidak boleh diam. Dia harus bicara,” ujar Pastor Amandus. Amandus menegaskan, para Imam tidak ingin mencampuri urusan politik. Seruan yang disampaikan, ditujukan baik kepada TPN-OPM maupun TNI/Polri agar mau duduk bersama. “Bicara, dan jangan membiarkan ini berlarut-larut, lalu rakyat yang tidak berdosa menjadi korban,” ujarnya lagi.

Semua harus direnungkan, kata Pastor Amandus, mengapa TPM-OPM melakukan tindakan-tindakan yang keras dan kasar. “Orang punya akal sehat, akan bertanya, mereka bukan orang bodoh. Mereka ada sebab. Sebab itu yang harus dijawab,” tambahnya. TNI/Polri melakukan tugas negara, dan instruksi untuk mereka jelas. Karena itu, ketika terjadi tembak menembak, semua pihak harus bisa memahami mengapa kedua belah pihak berperang. Kuncinya, kata Pastor Amandus, adalah duduk bersama dan berdialog. “Dan saya mengamati, selama ini yang namanya dialog hampir tidak ada. Dan selama dialog tidak ada, pasti minggu depan, bulan depan, akan terjadi lagi. Karena hasrat tidak pernah terjawab. Apa keinginan terdalam TPN-OPM tidak terjawab. Apa keinginan terdalam TNI/Polri tidak terjawab,” tandasnya.

Proses evakuasi salah satu korban penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu, 26 Oktober 2019. (Foto: Kapendam XVII/Cenderawasih)
Proses evakuasi salah satu korban penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu, 26 Oktober 2019. (Foto: Kapendam XVII/Cenderawasih)

Kelanjutan Konflik Lama

Staf SKP Keuskupan Timika, Saul Wanimbo, menegaskan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah kelanjutan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Penyebab semua kekacauan di Intan Jaya, kata Saul, juga masih sama. “Upaya pemerintah untuk membuka perusahaan pertambangan emas di Intan Jaya ini secara langsung akan mengorbankan masyarakat sipil yang punya hak ulayat di atas tanahnya, di Intan Jaya. Daerah ini tidak luas, perbukitan. Kalau perusahaan dibuka, orang asli di situ akan kehilangan ruang untuk hidup,” papar Saul dalam kesempatan yang sama.

Staf SKP Keuskupan Timika, Saul Wanimbo dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Staf SKP Keuskupan Timika, Saul Wanimbo dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Gereja Katolik Keuskupan Timika, lanjut dia, bersikap jelas. Dalam suratnya beberapa waktu lalu, gereja telah menyatakan menolak hadirnya perusahaan itu. “Saya kira, masyarakat karena kebanyakan umat kita di sana, mereka menolak juga mengikuti suara gereja,” tambahnya. Sail mengingatkan, ketika konflik terjadi, hampir dipastikan masyarakat sipil akan menjadi korban. Di Intan Jaya, pemukiman militer berada di tengah pemukiman warga. Sehingga jika insiden terjadi, warga sipil langsung menjadi korban. Tertembaknya bayi berusia 2 tahun yang kemudian meninggal, dan satu anak berusia 6 tahun yang hingga kini masih dirawat, menjadi contoh pedih.

Saul mendesak Komnas HAM segera turun melakukan investigasi ke Intan Jaya. Satu-satunya lembaga yang dapat menetapkan insiden ini sebagai pelanggaran HAM, hanya Komnas HAM. Selain itu, perlu juga dibentuk tim independen yang menyertakan sejumlah kalangan, sebagaimana tim sejenis dalam kasus tertembaknya Pendeta Yeremia, di Kampung Hidatipa, Intan Jaya. “Kita perlu waktu jeda kemanusiaan, untuk selamatkan warga sipil,” tandas Saul. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG