Pemekaran daerah di Papua bukan isu baru. Pro dan kontra muncul setiap saat, dengan pertanyaan paling mendasar yang selalu berdengung: untuk siapa kabupaten dan provinsi baru dilahirkan.
Staf khusus Presiden Billy Mambrasar berbicara penuh semangat di diskusi daring Pemekaran Papua untuk Siapa, Kamis (26/2) malam. Baginya, pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten baru di Papua penting dilakukan. Dia merinci sejumlah alasan, seperti faktor sejarah, budaya, ekonomi, dan pemerintahan sebagai dasar pendapatnya.
“Saya dalam posisi, yang pertama kondisi geografis Papua itu sangat luas sekali. Kedua, kompleksitas dari kondisi geografis tersebut. Dan ketiga, dengan catatan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya, kita perbaki,” paparnya.
Billy sadar soal pro-kontra pemekaran. Ada keyakinan, proses itu belum mendatangkan manfaat seperti yang diharapkan masyarakat Papua sendiri. Yang muncul adalah penciptaan kekuasaan baru dan raja-raja kecil, yang menimbulkan lebih banyak korupsi dan penyalahgunaan kekuasan. Namun. katanya, pada titik itulah perbaikan diperlukan.
Penting juga, menurut Billy, melibatkan generasi muda Papua dalam proses ini. Jangan lagi proses pemekaran yang dimaksudkan untuk memperbaiki nasib masyarakat Papua ternyata dimonopoli tokoh-tokoh tua.
Program Lama Tertunda
Dalam catatan Dr Bambang Purwoko dari Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada (UGM), pemekaran Papua telah lama menjadi isu politik. Dokumen tahun 2008 menyebut, pembentukan Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan telah masuk dalam usulan undang-undang inisiatif DPR.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menerapkan Otonomi Khusus Papua sejak 2001, sebagai landasan hukum mempercepat pembangunan di Papua. Pemekaran wilayah, yang sampai saat ini tertunda karena keputusan politik pusat, harus dipandang sebagai salah satu jalan saja dalam mewujudkan kesejahteraan.
“Pemekaran hanya salah satu alternatif solusi, untuk menjawab semua persoalan itu, yang terpenting sebenarnya adalah kesungguhan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kesungguhan dalam melaksanakan kebijakan otonomi khusus, yang sebenarnya sudah sangat detil,” ujar Bambang yang terlibat dalam penyusunan kajian pemekaran Provinsi Papua Tengah.
Bambang mengakui, dalam kajian media terkait pemekaran, sikap pro dan kontra sangat jelas terasa. Data yang dia susun menyebut 26 persen masyarakat Papua mengatakan pemekaran akan mempercepat pembangunan dan bisa mengejar ketertinggalan. Sekitar 14 persen percaya pemekaran memperpendek jarak birokrasi dan memperbaiki pelayanan publik. Kemudian 12 persen menilai ini akan meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, dan sisanya merasa yakin terkait pemerataan pembangunan dan peluang menjadi pemimpin daerah lebih besar.
Namun, ada pula sikap kontra pemekaran, di mana 19 persen masyarakat percaya langkah ini lebih menyandang kepentingan politik dan hanya memenuhi nafsu perebutan jabatan sejumlah elit politik. Pemekaran juga dianggap tidak seusai adat dan budaya, mengancam Orang Papua Asli (OAP), dan meminggirkan orang Papua. Pemekaran bukan tidak mungkin adalah bagian dari strategi adu domba yang akan menguras keuangan negara.
Dalam diskusi yang sama, Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR ) John Wempi Wetipo menyebut pemekaran bisa berdampak baik, tetapi tanpa kontrol hal ini juga bisa menjadi masalah.
“Karena itu, saya berharap apapun pemekaran yang dilaksanakan, paling tidak ada payung yang besar untuk mengawal semua proses pembangunan yang terjadi di papua,” ujar John.
Yang dia sebut sebagai payung besar adalah perlunya pemerintah pusat membentuk badan otoritas untuk mengkoordinir semua kebijakan yang diterapkan di Papua, termasuk terkait pemekaran.
Peran Elit Kelas Menengah
Diskusi lain terkait Papua juga diselenggarakan Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (22/2). Dalam diskusi bertema Pemekaran Daerah dan Kelas Menengah Baru di Papua ini, Dr I Ngurah Suryawan menyebut aktor-aktor politik berperan penting dalam isu pemekaran Papua. Ngurah Suryawan adalah antropolog dari Universitas Papua.
“Euforia tentang pemekaran itu sebenarnya sudah ada dan di berbagai wilayah di Papua, dan itu jika kita perhatikan, selau diinisiasi oleh para elit yang notabene, misalnya, kalah bersaing atau mempunyai politik kepentingan dalam pertarungan untuk memperebutkan jabatan,” kata Ngurah.
Sekelompok aktor itu adalah kaum elit di Papua, yang menurut Ngurah, terbentuk dari lingkungan budaya politik Indonesia. Mayoritas dari mereka belajar di berbagai universtas di Indonesia, bahkan muncul dari program pendidikan yang membawa anak muda Papua sejak SMA ke berbagai kota di Jawa. Karakterikstik para elit ataupun kelas menengah terdidik Papua, menurut Ngurah, sangat khas dari didikan budaya politik dan pola pendidikan di Indonesia.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Ngurah mencoba menelisik lebih jauh ide pemekaran ini dan mencatat sejumlah faktor penting. Dia mengatakan, ada argumen di kalangan elit Papua, bahwa perbedaan suku di sana juga memerlukan perbedaan wilayah administrasi. Jika satu suku berada dalam satu wilayah administrasi, mereka akan terorganisir dengan baik, homogen dan kepentingannya dapat diurus.
Muncul pula keyakinan bahwa perekrutan pegawai birokrasi di berbagai wilayah, harus mencerminkan suku yang ada. Aparat birokrasi harus memperhatikan suku, mencerminkan suku asli ataupun yang dominan di satu wilayah.
“Jika provinsi itu lahir, harus mendapat dukungan dari seluruh suku, dan pegawainya harus dari wilayah mereka lahir, sehingga kepentingan mereka terpenuhi,” tambah Ngurah.
Langkah itu bukan hanya ucapan, tetapi telah menjadi program. Para elit ini telah mendidik birokrat muda yang dipersiapkan untuk pemekaran wilayah baru, dengan mengirim mereka ke program magister hingga doktoral di UGM atau Universitas Padjajaran Bandung.
Tujuan Pemekaran Tak Tercapai
Peneliti LIPI, Prof Cahyo Pamungkas mengutip hasil penelitian lembaga itu tahun 2019 untuk menggambarkan apa yang diperoleh melalui pemekaran Papua selama ini. Dalam buku hasil penelitian Mozaik Cenderawasih, tercatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua periode 2014-2019. Data ini, kata Cahyo, memotret angka IPM di 40 kabupaten/kota di Papua dan 11 kabupaten/kota di Papua Barat.
“Di kabupaten atau kota yang penduduknya didominasi oleh pendatang, rata-rata IPM cukup tinggi. Misalnya kota Sorong atau Jayapura, yang mencapai 73. Namun di daerah yang didominasi Orang Asli Papua, angka IPM cukup rendah. Kita bisa melihat kabupaten hasil pemekaran, seperti Tambraw atau Nduga, angka IPM-nya rata-rata 54 sampai 58,” kata Cahyo.
Data itu juga menunjukkan bahwa kabupaten hasil pemekaran yang memiliki IPM tinggi dan Indeks Kemiskinan rendah adalah daerah pemekaran yang didominasi masyarakat transmigran. Daerah itu seperti Keerom, Nabire, Mimika, dan Sorong. Terbalik dengan hal tersebut, daerah pemekaran dengan penduduk mayoritas Orang Asli Papua justru IPM-nya rendah dan kemiskinannya tinggi, seperti Tambraw, Nduga, Intan Jaya, Maybrat, dan Manokwari Selatan.
“Dan ini, saya kira pemekaran belum bisa mencapai sasarannya. Pemekaran di daerah yang didominasi Orang Papua Asli, belum mencapai sasaran yang diharapkan,” tegas Cahyo terkait hasil penelitian itu. [ns/ab]