Dengan mengetuk palu yang diserahterimakan oleh Perdana Menteri Italia Mario Draghi di penutupan KTT G20 di Roma, hari Minggu (31/10), Presiden Indonesia Joko Widodo menyatakan kesiapan menjadi presidensi G20 mendatang.
Dalam konferensi pers virtual hari Senin (1/11), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan dalam penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 itu Presiden Jokowi menyampaikan urgensi G20 menjadi motor pengembangan ekosistem yang mendorong kolaborasi dan inovasi.
Terkait perubahan iklim dan lingkungan, Retno menambahkan Presiden Jokowi menekankan pentingnya kerjasama dan tindakan nyata dalam mengatasi perubahan iklim. G20, tegasnya, harus memberikan contoh memimpin dunia dengan tindakan yang nyata.
Menurut Presiden Jokowi, penanganan perubahan iklim harus diletakkan dalam kerangka besar pembangunan berkelanjutan.
Indonesia sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia berperan strategis dalam upaya menangani perubahan iklim dan posisi tersebut digunakan Indonesia untuk berkontribusi.
Retno mencontohkan upaya menekan deforestasi di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir hingga ke titik terendah.
Indonesia juga telah merehabilitasi tiga juta hetare lahan kritis pada 2010-2019 dan mengembangkan kawasan nihil emisi karbon seluas 13.200 hektare di Kalimantan Utara yang menggunakan energi baru terbarukan dan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan. Transisi energi terbarukan yang sejalan dengan prinsip keamanan energi dan aksesabilitas, melalui teknologi yang terjangkau dan dukungan pendanaan internasional diharapkan akan mendorong terlaksananya sejumlah proyek.
Project Officer Keadilan Iklim Walhi Abdul Ghofar menggarisbawahi perlunya kerjasama internasional terkait penanganan perubahan iklim, termasuk skema bantuan pembiayaan dari negara maju ke negara berkembang untuk berbagai langkah aksi, mitigasi dan adaptasi akibat perubahan iklim.
“Mereka G20 kekuatan ekonomi global kalo dihitung berdasarkan kontribusi emisi negara maka G20 menanggung 80 persen emisi global. Mereka inilah salah satu aktor utama berperan penting dalam pengurangan emisi jika mereka serius” ujar Ghofar.
Abdul Ghofal mengapresiasi komitmen negara-negara G20 untuk menghentikan pendanaan terhadap pembangunan atau investasi di bidang energi kotor seperti pembangunan PLTU batubara. Juga penegasan komitmen untuk melaksanakan mandat dari perjanjian Paris di tahun 2015 terkait soal pengumpulan dana sebesar 100 milliar dolar per tahun untuk langkah adaptasi dan mitigasi bagi negara yang terdampak perubahan iklim.
Meski demikian, Ghofar menyayangkan tidak tercapainya kesepakatan dari negara G20 untuk menetapkan target emisi nol atau zero-net emissions di tahun 2050.
Menurut Ghofar, sebagai tuan rumah G20 di tahun 2022, Indonesia patut memberikan contoh kepada negara-negara lain, terutama praktek baik dan inisiatif dalam aksi mitigasi. Juga mempercepat upaya mengurangi ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batubara sebelum tahun 2030.
Diingatkannya jika rencana aksi pengurangan emisi Indonesia hanya bertumpu pada sektor kehutanan semata maka komitmen untuk memenuhi perjanjian Paris, yaitu menahan laju pemanasan global pada dua derajat Celsius di tahun 2030, tidak akan tercapai. [fw/em]