Draf kesepakatan KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) yang dirilis hari Rabu (10/11) dikritik aktivis lingkungan. Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang negaranya menjadi tuan rumah pelaksanaan KTT, membujuk para pemimpin dunia agar segera memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengatasi krisis iklim, dalam upaya terakhir sebelum konferensi ditutup Jumat esok.
Semangat bermusyawarah mulai terbentuk di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26), kata Presiden COP26 Alok Sharma kepada wartawan hari Rabu (10/11).
“Saya baru saja rapat paripurna dengan semua pihak dan kita akan terus mendiskusikannya. Satu hal yang sangat jelas bagi saya adalah adanya semangat bermusyawarah, adanya semangat kerja sama, kita mulai melihat semangat itu akan mengemuka selama beberapa hari ke depan, dan saya ingin kita semua mengakhiri ini dengan hasil yang ambisius, seperti yang kita inginkan selama ini. Itu semua bergantung pada kita bersama, seluruh pihak, para menteri, para negosiator, para pemimpin. Kita lihat bagaimana hasilnya,” ungkap Sharma.
Dalam pidatonya Rabu (10/11), Sharma menambahkan, “yang kita sepakati di Glasgow akan menentukan masa depan anak-cucu kita, dan saya tahu tidak ada pemimpin negara di dunia yang ingin mengecewakan mereka.”
Draf pertama kesimpulan COP26, yang kini harus dinegosiasikan oleh hampir 200 negara yang hadir di Glasgow, Skotlandia, dan harus disetujui pada akhir konferensi Jumat (12/11) mendatang, dirilis Rabu (10/11) pagi.
Draf itu meminta negara-negara untuk “meninjau kembali dan memperkuat target-target tahun 2030 dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) masing-masing, sebagaimana yang diperlukan agar selaras dengan target temperatur Perjanjian Iklim pada akhir 2022.”
Para negosiator mempertimbangan sebuah rancangan kesepakatan yang menggarisbawahi “alarm dan keprihatinan” akan pemanasan global yang tengah dialami planet Bumi.
Draf itu juga mendesak negara-negara untuk “mempercepat penghapusan bertahap penggunaan batu bara dan penyediaan subsidi bahan bakar fosil,” tanpa secara eksplisit mendesak dihentikannya penggunaan minyak dan gas.
Di samping itu, draf tersebut tidak memuat “jumlah” pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk bisa beradaptasi dengan perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Greenpeace Jennifer Morgan mengaku kecewa dengan draf tersebut. Ia menyoroti krisis kepercayaan yang dirasakan negara-negara miskin terhadap negara-negara kaya.
“Mekanisme pendanaannya lemah. Dukungan untuk adaptasi (dengan perubahan iklim) juga lemah. Draf itu tidak memuat jumlah pendanaan. Menurut saya akan sulit bagi kebanyakan negara rentan untuk merasa percaya diri dan percaya bahwa negara-negara maju akan mendukung mereka.”
Inggris, sebagai tuan rumah COP26, menyerukan negara-negara untuk meningkatkan target mereka dalam mengurangi emisi gas rumah kaca tahun depan. Inggris mengakui bahwa komitmen-komitmen yang diberikan saat ini tidak memenuhi kebutuhan untuk mencegah bencana iklim.
Meski demikian, target untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius disebut masih bisa diwujudkan.
Dengan sisa dua hari lagi penyelenggaraan KTT, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kembali ke Glasgow, Skotlandia, lokasi pelaksanaan pertemuan, untuk kembali membujuk para pemimpin dunia agar memberikan lebih banyak ruang bagi negosiator mereka untuk mencapai kesepakatan tentang isu yang paling sensitif: pembiayaan dan target emisi.
“Pertanyaan saya kepada sejawat saya sesama pemimpin dunia siang ini, seiring kita memasuki jam-jam terakhir konferensi: Apakah Anda akan membantu kami melakukannya? Maukah Anda membantu kami menangkap peluang itu? Atau justru Anda akan menghalanginya?,” tanya Johnson.
Dalam Perjanjian Iklim Paris tahun 2015, negara-negara sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas suhu era pra-industri, dan mencoba membatasinya pada 1,5 derajat Celcius. [rd/jm]