Natal akan menjadi momen istimewa bagi warga Papua yang akan merayakannya pada akhir Desember nanti. Sayangnya, di banyak wilayah, ribuan warga masih harus berada di pengungsian hingga saat ini. Pater Dr Bernard Baru, OSA, koordinator Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Cipta - Ordo Santo Agustinus (SKPKC OSA) meminta pemerintah daerah dan politisi setempat, berperan lebih besar dalam situasi sulit ini.
Bukan hanya terkait Natal, kembalinya pengungsi ke rumah secepatnya juga karena faktor ketersediaan makanan bagi mereka.
“Kalau lewat sampai Desember dan seterusnya, masyarakat banyak yang akan meninggal. Nanti akan banyak yang meninggal karena persoalan bahan makan, soal kesehatan, mental, psikologis juga soal rohani,” kata Bernard dalam pertemuan daring dengan jurnalis, Jumat (26/11).
Bernard mengingatkan pemerintah dan seluruh lembaga bertanggung jawab untuk mencari solusi persoalan ini bersama-sama. Bernard mengkritik para pemimpin daerah dan politisi, yang rajin hadir di tengah masyarakat saat kampanye dengan berbagai janji. Ketika konflik berlangsung, tidak ada yang muncul ke depan untuk memberikan solusi.
Di luar persoalan itu, sebagai umat beragama, pengungsi juga membutuhkan bimbingan rohani.
“Rohani mereka tidak diperhatikan. Ini semua orang-orang beriman yang butuh pelayanan. Gereja-gereja ditutup, bagaimana mereka merayakan Natal dengan sukacita dan damai,” tambah Bernard.
Gereja telah menghubungi pemimpin militer setempat terkait upaya membawa pulang pengungsi sebelum Natal. Namun sampai pekan ini, belum ada kejelasan apakah upaya itu akan membawa hasil atau tidak.
Gereja juga berharap ada jeda kemanusiaan. Papua membutuhkan kondisi damai dengan kesediaan melakukan gencatan senjata. Menurut Bernard, siapapun yang menjadi korban konflik akan melahirkan tragedi. Prajurit TNI/Polri maupun anggota TPM-OPM yang tewas, akan meninggalkan keluarga mereka.
“Kita semua hidup di dunia ini sementara. Mari kita saling mengasihi saling mengampuni, saling rekonsiliasi. Menciptakan dunia yang damai untuk semua,” tambah Bernard.
Kondisi Pengungsi Memprihatinkan
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat mencatat, hingga saat ini setidaknya ada 3.121 warga mengungsi. Perbandingan jumlah pengungsi perempuan dan laki-laki hampir sama. Jika ditilik dari usia, sekitar 2.500 pengungsi dewasa, sekitar 575 merupakan anak-anak usia sekolah, dan sisanya adalah bayi dan balita.
Juru bicara koalisi ini, Yohanis Mambrasar, menyebut setidaknya delapan pengungsi telah meninggal dunia.
"Delapan orang sudah meninggal, dan ini semua meninggal di tempat pengungsian. Ada yang di Kabupaten Sorong, ada juga yang di Kumurkek, dan juga ada yang meninggal di dalam hutan, karena tengelam di sungai dan ada yang tertimpa pohon,” jelas Yohanis.
Para pengungsi ini mulai meninggalkan kampung mereka, setelah terjadi konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Pada 2 September lalu, sejumlah orang menyerang Pos TNI Koramil Persiapan Kisor yang menyebabkan meninggalnya 4 anggota TNI dan 2 luka-luka.
Selain di kawasan Maybrat sendiri, seperti di Ayawasi, Kumurkek, dan Fategomi, pengungsi juga berpindah jauh hingga Kabupaten tetangga, seperti Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Bentuni.
Koalisi juga mencatat, setidaknya 55 orang pengungsi telah mengalami kekerasan.
Bentuknya mulai dari penganiayaan, penyiksaan, intimidasi, penembakan dan penangkapan. Delapan warga sampai saat ini masih menjalani proses hukum, dengan sebagian diantara mereka adalah pelajar. Warga juga melaporkan, salah satu anak bernama Manfret Tamunete belum ditemukan sampai saat ini.
Selain jeda kemanusiaan, koalisi ini juga menuntut TNI/Polri menarik pasukan mereka dari Maybrat. Situasi kondusif dibutuhkan, agar pengungsi mau pulang.
“Kami juga mendesak pemerintah kabupten Maybrat, segera memulangkan 3.121 warga sipil korban pengungsi dengan memberikan jaminan keamanan kepada warga,” tambah Yohanis.
Koalisi juga memberikan rekomendasi agar aparat penegak hukum menghentikan proses hukum terhadap delapan warga. Mereka dinilai merupakan korban salah tangkap. Selain itu, dunia internasional juga diharapkan lebih peduli terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Maybrat, dan Papua secara umum. [ns/ab]