Tim perunding di Wina pada Senin (29/11) memulai kembali pembicaraan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir Iran tahun 2015 bersama dengan sejumlah negara adidaya, di mana Amerika Serikat (AS) secara luas ikut ambil bagian sebagaimana putaran-putaran pembicaraan sebelumnya sejak mundurnya pemerintahan Trump dari perjanjian itu tiga tahun lalu.
Harapan untuk mencapai kemajuan tampaknya surut setelah pemerintahan baru garis keras Iran menimbulkan kevakuman dalam perundingan itu selama lima bulan.
Namun setelah pembicaraan pertama berakhir pada Senin (29/11), pejabat Uni Eropa yang memimpin pembicaraan itu tampak optimis.
Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden akan terus mendorong “pendekatan diplomatik” untuk masalah ini.
“Tujuan kami tidak berubah,” ujar Psaki. “Pembicaraan ini tetap merupakan bagian dari upaya timbal balik untuk mematuhi JCPOA sepenuhnya.”
Enam Putaran Pembicaraan Sejak April
Joint Comprehensive Plan of Action atau Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) adalah kesepakatan yang dicapai pada tahun 2015 di mana Iran setuju untuk menyudahi kegiatan nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sejumlah sanksi, termasuk sanksi ekonomi.
Pemerintah AS di bawah pimpinan Donald Trump menarik diri dari perjanjian itu secara sepihak pada tahun 2018. Menanggapi hal itu, Iran melanjutkan kembali sebagian kegiatan nuklirnya dan pada Juli 2019 melanggar kesepakatan JCPOA dengan melampaui batas pengayaan uranium dan tingkat persediaan nuklirnya. Iran memperkaya uranium hingga 60 persen dan memperluas persediaannya di luar batas yang diijinkan dalam JCPOA.
Sejak April lalu ada enam putaran pembicaraan di Wina antara Iran dan negara-negara adidaya yang masih ada dalam JCPOA, yaitu Inggris, China, Rusia, Prancis, dan Jerman. Negara-negara itu berharap dapat menarik kembali Amerika dalam perjanjian nuklir itu.
Dalam konperensi pers pada Senin (29/11) itu, Psaki juga menguraikan rincian singkat pertemuan puncak demokrasi yang akan diselenggarakan Gedung Putih pada tanggal 9-10 Desember mendatang.
KTT itu akan mempertemukan 110 pemerintah dan kelompok non-pemerintah untuk membahas “bagaimana demokrasi dapat memenuhi janji pada warganya,” ujar Psaki. [em/lt]