Tautan-tautan Akses

Dukungan Keluarga, Komunitas Paling Dibutuhkan Orang dengan HIV/AIDS


Seniman India menghias pantai Puri dengan hiasan pita merah pada Peringatan Hari AIDS Sedunia dekat Bhubaneswar, India timur (foto: ilustrasi).
Seniman India menghias pantai Puri dengan hiasan pita merah pada Peringatan Hari AIDS Sedunia dekat Bhubaneswar, India timur (foto: ilustrasi).

1 Desember adalah Hari AIDS Sedunia. Sementara obat antiretroviral mengalami kemajuan, stigma dan diskriminasi masih melekat pada orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA). VOA melaporkan tentang dua orang dengan HIV di Bali mengenai tantangan yang dihadapi, cara mereka bangkit, dan membantu sesama ODHA.

Bagi banyak orang dengan HIV/AIDS (ODHA), salah satu titik terberat dalam hidup adalah saat pertama kali mengetahui status HIV positif mereka.

"Menjadi down, menjadi depresi, kayanya tuh kaya ngga bisa dibikin happy," ujar Amahl S. Azwar, laki-laki 34 tahun yang mengetahui statusnya pada 2013. Karena stres, ia mengaku "menjadi bengal" hingga kehilangan pekerjaan.

Sebagian lain bahkan mengaku tak punya harapan hidup.

"Saya pikir HIV itu tinggal menunggu mati," kenang Ketut Rediten yang akrab disapa Ibu Desi. Ia mengetahui statusnya pada 2010, setelah suaminya sakit dan diketahui terjangkit HIV/AIDS. Suaminya meninggal tiga bulan kemudian.

Dalam kekalutan semacam itu, yang paling dibutuhkan oleh orang-orang seperti mereka adalah dukungan dari keluarga dan masyarakat, sesuatu yang tak selalu didapat karena stigma dan diskriminasi yang melekat.

"Saya diusir oleh keluarga suami saya dan keluarga saya, semua orang menolak. Saya mikir apa salah saya? Saya hanya ibu rumah tangga yang melayani suami dan anak," cerita ibu empat anak ini kepada VOA.

Ketut Rediten atau Ibu Desi menjadi pendamping ODHA di RSUP Sanglah sejak 2011.(Foto: privat)
Ketut Rediten atau Ibu Desi menjadi pendamping ODHA di RSUP Sanglah sejak 2011.(Foto: privat)

Perlu proses dan waktu yang panjang bagi Amahl dan Ibu Desi untuk bisa berdamai dengan diri sendiri dan keadaan.

Amahl menemukan gairah dalam menulis. Setahun setelah diagnosisnya, ia menulis esai personal perdana sebagai ODHIV berjudul "Guy, Interrupted: How Being HIV Positive Opens My Eyes." Sejak itu ia tak berhenti menulis. Ia mengaku keterbukaan dan kejujuran merupakan sesuatu yang "healing" atau menyembuhkan batinnya.

Bagi Ibu Desi, proses menerima jati diri dimulai dengan menjadi sukarelawan selama beberapa bulan di Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) RSUP Sanglah. Disitu ia mengaku "jiwa menolongnya bangkit" dan sejak 2011 membantu memberikan pendampingan kepada ODHA yang datang ke klinik itu.

Sebagai pendamping, ia berperan memberikan dukungan kepada ODHA, karena "Orang dengan HIV tidak bisa menyampaikan apa yang ia rasakan."

"Tidak gampang menyampaikan status kepada sembarang orang. Banyak loh pasien yang keluarganya sendiri tidak tahu kalau mereka positif. Mereka tidak berani ambil risiko, karena takut diperlakukan seperti saya," tambah Ibu Desi yang tercatat sebagai pendamping penuh waktu.

Amahl S. Azwar, ODHIV dan penulis buku "The Poz Says Ok." (foto: courtesy Amahl).
Amahl S. Azwar, ODHIV dan penulis buku "The Poz Says Ok." (foto: courtesy Amahl).

Sebagai ODHIV, Amahl tahu betul perasaan tersebut. Itu pula salah satu tujuannya menerbitkan buku berjudul "The Poz Says Ok" yang berisi pengalamannya selama delapan tahun positif HIV. Amahl berharap dengan berbagi pengalaman, ia bisa membantu orang lain.

"Mungkin ada yang pernah kena HIV, lalu down, lalu jatuh, kemudian baca buku ini bisa lebih tersemangati. Bagi yang tidak HIV bisa cari tahu biar ngga terkena. Atau mungkin ada teman, ada keluarga yang kena, lalu bingung mau berbuat apa, supaya jadi tahu."

Dalam bukunya, ia mengimbau siapapun untuk menjalani tes HIV dan mencari tahu status mereka.

"Yang penting tahu (statusnya). Kalau poz (positif) bisa segera minum obat dan mengambil tindakan preventif supaya tidak parah," imbuhnya Amahl yang berprofesi sebagai jurnalis lepas untuk beberapa media besar.

HIV/AIDS pertama kali ditemukan 40 tahun lalu. Virus itu bisa menular lewat kontak seksual, jarum suntik, transfusi darah, dari ibu ke bayi dalam kandungan dan lewat ASI. HIV tidak menular lewat sentuhan atau berbagi alat makan.

HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan, tapi kadar virusnya bisa ditekan dengan mengonsumsi obat-obatan antiretroviral (ARV) setiap hari. Kecanggihan ARV membuat banyak ODHA bisa hidup dengan fisik yang sehat dan tetap berkarya dan berdaya.

Dukungan Keluarga, Komunitas Paling Dibutuhkan Orang dengan HIV/AIDS
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:02 0:00

"Orang dengan HIV itu baik-baik saja, apalagi kalau di-support keluarga, di-support dengan nutrisi yang bagus. Kamu dan saya ngga beda. Bedanya hanya saya harus minum obat seumur hidup," ujar Ibu Desi, yang ikut menggagas sebuah rumah kreatif yang bertujuan untuk memberdayakan para pengidap HIV.

Diperkirakan ada lebih dari 540.000 orang pengidap HIV/AIDS dan 24.000 kematian akibat penyakit terkait AIDS di seluruh Indonesia, menurut data UNAIDS. Sekitar 25% dari total pengidap HIV/AIDS di Indonesia telah memiliki akses ke obat-obatan ARV. [vm/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG