Desakan agar Menteri Agama menutup pesantren atau sekolah berasrama yang mengalami kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual, tidak serta merta bisa diterapkan. Dari sisi jumlah misalnya, pesantren di Indonesia sangat beragam, mulai yang memiliki santri di bawah seratus orang, hingga yang lebih dari dua puluh ribu orang.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) KH Abdul Ghaffar Rozin memberi alternatif. Menurutnya, tindakan lebih fokus ditujukan kepada pengasuh. Jika pesantren ditutup, harus ada upaya mengarahkan santri yang jumlahnya tidak sedikit. Memperketat prosedur perekrutan pengasuh pesantren, kata Rozin, lebih solutif. Langkah ini perlu disertai penyusunan daftar hitam predator anak secara nasional, sehingga mereka tidak bisa mengakses posisi pengasuh di manapun.
“Kalau mengganti pengasuhnya, sedikit banyak bisa menyelesaikan masalah. Sekaligus ada semacam daftar hitam secara nasional, bagaimana predator seksual ini ada tanda khusus, sehingga di dalam aktivitas apapun, terutama di dalam sosial keagamaan, mereka gampang dilacak dan tidak gampang masuk lagi,” kata Rozin.
Masukan itu disampaikan Rozin dalam diskusi Peningkatan Pengasuhan Ramah Anak di Satuan Pendidikan Berasrama. Diskusi pada Senin (13/12) ini diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Terkait kasus kekerasan seksual, tambah Rozin, ada pesantren yang sudah sangat peduli dan ada pula yang sama sekali belum. Namun, karena ada lebih 24.000 pesantren di seluruh Indonesia, upaya ini memang tidak mudah.
Sejauh ini, NU mendorong adanya pola pengasuhan lebih fokus, dengan satu pengasuh untuk 15-20 santri, bagi usia anak SLTP ke bawah. Sedangkan bagi santri setara SMA ke atas, rasionya dapat dinaikkan. Upaya inipun tidak mudah, karena bisa dihitung, berapa pengasuh dibutuhkan jika sebuah pesantren memiliki belasan ribu hingga lebih dua puluh ribu santri.
“Kami mendorong agar kepedulian terhadap definisi dan kesadaran terhadap sexual harassment dan bullying dipahami oleh semua pengelola pesantren. Dimulai dari pesantren yang rasionya bagus, yang mempunyai kesadaran, dan bertahap ke pesantren lain,” tambah Rozin.
Basis Data Panduan Nasional
Tata Sudrajat dari Yayasan Save the Children Indonesia, memiliki pendapat senada dengan Rozin. Dia bahkan menyebut langsung, KPPPA sebagai kementerian yang selayaknya menyusun portal data daring untuk ini.
“Kalau misalnya KPPPA membuat portal itu, mendaftar semua pelaku kekerasan pada anak, para predator, itu akan menjadi bank data. Dan ketika lembaga meminta konsultasi apakah calon ini bersih atau tidak, akan sangat berguna bagi setiap lembaga memastikan pengasuhnya bebas dari riwayat kekerasan,” kata Tata.
Tata mengingatkan, dalam kasus di mana anak berada di sebuah asrama, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab dan peran pengasuhan kepada anak. Mereka menjadi orang tua pengganti sementara, sepanjang anak itu ada d isana.
“Bagi negara, bagi pemerintah, tugasnya adalah memastikan setiap lembaga itu menjalankan peran ini,” lanjut Tata.
Jika seorang anak masuk asrama, seperti pesantren, tanggung jawab orang tuanya tidak serta merta tidak hilang. Karena itulah, lembaga pendidikan berasrama juga harus membuat sistem standar kunjungan orang tua.
Save the Children meyakini segala bentuk kekerasan pada anak di lembaga pendidikan tidak dapat ditolerir.
“Tidak ada lembaga yang steril dari kekerasan terhadap anak. Sehingga indikator zero kasus di lembaga pendidikan, harus diganti dengan prinsip setiap kasus ditangani secara profesional dan proporsional. Bukan ditutupi atau dijustfikasi,” ujarnya lagi.
Anak yang menjadi korban kekerasan juga harus mendapatkan layanan perawatan dan dukungan psikososial yang layak. Korban yang tidak dirawat dengan baik, kata Tata, akan menjadi pemangsa bagi anak lain.
“Predator anak, 90 persen adalah mereka yang mendapat kekerasan ketika anak-anak,” tandasnya.
Tata juga mengatakan, Kementerian Agama maupun kementerian lain yang membawa lembaga pendidikan berasrama, seharusnya membuat standar pengasuhan anak.
Lembaga Pendidikan Berbenah
Pesantren menjadi bagian penting dari upaya menghapus kekerasan, dalam berbagai bentuknya, dalam lingkungan pendidikan. Namun, inipun bukan langkah mudah. Seperti dipaparkan Nawal Arafah Yasin, salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
“Sejak 2019, kami difasilitasi oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menerapkan disiplin positif, dan memodifikasi model-model yang ada, agar sesuai dan bisa diterapkan di pesantren,” kata Nawal.
Pelaksanaan program bernama disiplin positif di pesantren ini melibatkan pengasuh, ustadz, para santri dan orang tua. Perbaikan kondisi ini didukung sepenuhnya oleh UNICEF dan Yayasan Setara.
“Sudah ada lebih 1.000 santri yang ikut terlibat dalam kampanye pesantren ramah anak dan anti kekerasan ini. Terbentuk satu komunitas santri teman sebaya anak. Mereka juga kemudian menjadi agen perubahan, menuju lingkungan pesantren yang ramah anak dan meninggalkan hukuman fisik,” lanjut Nawal.
Di sekolah berasrama milik Yayasan Van Lith, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, upaya yang sama juga dilakukan. Suster Christi CB dari lembaga ini memaparkan, sebagai sekolah berasrama, mereka memiliki peraturan yang terintegrasi. Setiap siswa baru menerima buku pedoman akademik, yang di dalamnya termaktub semua hal, termasuk penerapan sistem poin.
“Anak-anak tahu bahwa poinnya itu untuk tiga tahun hanya 150. Poin itu yang menentukan bagi anak-anak, hal ini boleh atau tidak, ini dapat sanksi atau tidak,” kata Christi.
Pendidikan karakter juga diterapkan, tidak hanya mendidik dari sisi akademik. Tentu saja, sebagai lembaga pendidikan Katolik, sisi religiusitas sangat ditekankan.
“Ada beberapa kegiatan rohani, membentuk anak untuk bukan hanya fokus berdoa terus, tetapi membentuk karakter anak menjadi positif,” kata Christi. [ns/ka]