April adalah bulan kesadaran pelecehan seksual. Sebuah studi internasional yang dirilis pekan lalu (11/4) mendapati bahwa sekitar 80 persen perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan di jalan dalam berbagai bentuk. Bagaimana dengan di Indonesia? Dan apa yang bisa kita lakukan apabila menyaksikan suatu pelecehan di ruang publik?
Mulai dari disiuli, digoda secara verbal hingga diraba, itulah sebagian bentuk pelecehan seksual yang banyak dialami perempuan di ruang publik, seperti jalan atau kendaraan umum.
Studi baru yang dilakukan Loreal Paris dan melibatkan 15.000 perempuan di 15 negara, mendapati sekitar 80 persen perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan di jalan, dengan angka tertinggi di Afrika Selatan dan Meksiko.
Anindya Restuviani adalah salah seorang Direktur Hollaback! Jakarta, gerakan yang berusaha menghentikan pelecehan di ruang publik.
Dia mengatakan kepada VOA hasil studi tersebut tak mengejutkan. “Hal-hal seperti itu seringkali dianggap normal oleh masyarakat umum. Akhirnya kekerasan yang dianggap normal ini membuat kasus-kasus pelecehan di ruang publik, khususnya di jalan, terpendam. Akhirnya masyarakat enggan menceritakan pengalamannya karena sering sekali dianggap remeh.”
Pandemi Tak Kurangi Pelecehan
Bahkan selama pandemi sekalipun, dengan karantina, PSBB, dan kegiatan serba virtual, pelecehan di jalan masih saja terjadi. Sekitar 1 dari 3 perempuan mengaku mengalami pelecehan di jalan tahun lalu, menurut studi Loreal tersebut.
Syaldi Sahude adalah salah seorang pendiri Aliansi Laki-laki Baru, kelompok yang berupaya mendorong peran serta laki-laki untuk peduli dengan isu perempuan. Dia mengatakan kepada VOA tidak ada berubah dari pola pelecehan selama pandemi, yang berkurang hanya mobilitasnya.
“Dengan sepinya jalan, pelaku – yang menyedihkan mayoritas laki-laki – itu makin punya ruang untuk melakukan pelecehan itu.”
Pelecehan Seksual di Indonesia
Meski Indonesia bukan bagian dari studi tersebut, tapi hasilnya mencerminkan apa yang terjadi di tanah air, kata Vivi. Dia merujuk pada survey nasional yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman di Indonesia 2018 lalu. Survey yang melibatkan 62.000 orang itu menunjukkan 1 dari 2 perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan di ruang publik.
Syaldi mengatakan banyak laki-laki yang meremehkan isu ini dan tidak paham bahwa yang mereka lakukan adalah pelecehan. Dia menyerukan perubahan paradigma dan mengajak kaum laki-laki untuk lebih peduli dengan isu ini.
“Pertama adalah untuk laki-laki ya enggak melakukan. Kemudian, speak up soal itu, dan ketiga stand up. Speak up kalo ada kawan yang melakukan, kita ngobrol, kenapa sih kita sebut ini pelecehan seksual. Kalau ada melakukan, kita standup dan bilang itu 'enggak ok' dan harus berhenti melakukan itu.”
Intervensi Saksi
Namun sayangnya, tak semua orang yang menyaksikan pelecehan di tempat umum berani mengambil tindakan atau tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam “Pelatihan Intervensi Saksi” yang diadakan Hollaback! global, disebutkan bahwa 79 persen orang ingin dibantu apabila mengalami pelecehan, tapi hanya 25 persen yang dibantu. Karena itu, organisasi nirlaba tersebut giat mengadakan pelatihan virtual gratis yang mengajari peserta untuk melakukan intervensi aman ketika menyaksikan pelecehan di ruang publik.
Metodologi yang diajarkan Hollaback! dalam “Pelatihan Intervensi Saksi” adalah 5D, yaitu Distraksi atau Dialihkan (perhatiannya), Delegate atau Dilaporkan, Dokumentasi atau Dokumentasikan, Delay yaitu Ditenangkan (mengecek korban setelah insiden berakhir), dan Direct atau Ditegur (mengonfrontasi pelaku secara langsung).
Namun, sebelum memilih melakukan ‘Direct intervention’ seperti memperingatkan atau mengonfrontasi pelaku, pastikan dulu keamanannya, kata Vivi.
“Ini kan sangat forward, namanya juga direct, jadi kita harus pastikan dulu keamanan baik bagi orang yang mengalami kekerasan dan kita juga yang melakukan intervensi, karena kita tidak ingin kekerasan itu menjadi eskalasi.”
Selain keamanan, satu hal lagi yang harus diperhatikan, kata Syaldi, “Pastikan bahwa korban itu belum mampu mengambil sikap.”
Pelatihan dengan metodologi yang sama ini sedang gencar diadakan di seluruh AS, seiring meningkatnya sentimen anti-Asia, di mana sebagian besar korbannya adalah perempuan. Hollaback! New York melaporkan bahwa lebih dari 45.000 orang telah mengikuti kelas intervensi saksi virtual, sejak penembakan di Atlanta pada 16 Maret, dibandingkan sekitar 16.000 orang yang mereka latih sepanjang tahun lalu. [vm/em]