Lahir dan besar di Jayapura, Papua, Diyanah Afifah Ramadhaniyati belum lama ini lulus S2 bidang urusan internasional dari American University di Washington, D.C.
Perempuan yang akrab disapa Diyanah ini berhasil meraih beasiswa S2 dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP khusus daerah afirmasi Indonesia timur dari pemerintah.
Ini merupakan beasiswa penuh yang membiayai si penerima mulai dari proses pelatihan bahasa Inggris, pembuatan visa, biaya kuliah hingga biaya hidup di negara tujuan.
“Benar-benar enggak percaya bisa ke luar negeri lalu dibiayai sama pemerintah seperti itu. Enggak berani ngebayangin. Yang jelas waktu itu penginnya belajar dari negara paling maju di dunia,” papar Diyanah Afifah Ramadhaniyati kepada VOA belum lama ini.
Tonjolkan Indonesia Timur
Diyanah bermimpi untuk bisa meneruskan pendidikan S2 setelah lulus S1 jurusan hubungan internasional dari universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Ketika ia mendapatkan informasi mengenai beasiswa LPDP yang khusus ditujukan ke warga yang berasal dari Indonesia bagian timur, ia pun langsung mendaftar tanpa berpikir panjang.
“Alhamdulillah lolos,” kata Diyanah.
Sempat bercita-cita menjadi diplomat, perempuan kelahiran 1996 ini bertekad menjadi wakil dari warga Indonesia timur di tingkat internasional. Keinginannya ini ia tuangkan ke dalam tulisan yang menjadi salah satu persyaratan penting saat mendaftar beasiswa. Siapa yang menyangka ternyata tekadnya ini berhasil membuatnya terpilih mendapatkan beasiswa ini.
“Mungkin orang-orang di Amerika sendiri bayangannya tentang Indonesia masih di bagian barat. Kalau enggak, ya mentok sampai Bali. Yang ingin saya tonjolkan adalah di Indonesia bagian timur itu juga bisa fokus ke hubungan internasional. Apalagi kerja sama antar negara itu nggak cuman negaranya sendiri tapi individual juga sekarang bisa berperan penting kayak hubungan antar negara satu sama lain,” papar Diyanah.
Namun, perjuangan Diyanah belum selesai. Setelah lolos seleksi beasiswa, ia masih harus berjuang untuk mendaftar ke universitas yang dituju. Saat itu salah satu tantangannya adalah bahasa Inggris.
Untungnya pihak LPDP menyediakan pelatihan bahasa Inggris gratis selama 4 bulan di Bandung, untuk mempersiapkan para penerima beasiswa ini sebelum mendaftar ke universitas yang diinginkan.
“Jadi tantangannya lebih di situ, karena setelah dapat beasiswa belum tentu bisa beneran lanjut sekolah, kalau persyaratan bahasanya tidak terpenuhi,” katanya.
Pilihannya jatuh pada American University di Washington, D.C., karena universitas tersebut menawarkan jurusan yang masih berhubungan dengan bidang yang ia minati, yaitu hubungan internasional.
“Pertimbangan lain karena Washington, D.C. ibu kota Amerika. Jadi berpikirnya, ‘wah, hubungan internasional kan politik belajarnya.’ Lalu bicara non-profit, lembaga-lembaga internasional kurang lebih (di) D.C. banyak,” ujarnya.
Semester Pertama di AS
Tahun 2019, Diyanah menginjakkan kaki di Amerika. Saat semester pertama baru berjalan, ia mengaku sempat mengalami gegar budaya dalam proses pembelajaran. Sebagai mahasiswi internasional, Diyanah mengaku lebih dituntut untuk berpartisipasi di dalam kelas.
“Sebagai international student enggak mudah, karena (bahasa yang digunakan) bukan bahasa pertamanya kita. Jadi sudah secara substansi (harus) berpikir, lalu harus di-translate lagi ke bahasa yang bukan bahasa kita. Itu lumayan demanding. Dengan banyaknya tugas, dan banyaknya reading di semester satu, sangat-sangat susah banget,” ujarnya.
Di kampusnya, Diyanah melihat adanya program pertukaran mahasiswa untuk bisa melanjutkan kuliah selama satu semester di luar Amerika. Ia pun langsung mengambil kesempatan itu, sampai akhirnya diterima di Korea University.
“Semester dua, awal 2020, sudah berangkat ke Korea Selatan harusnya menghabiskan 1 semester. Ternyata sampai di sana dibatalkan programnya karena pandemi jadi harus balik lagi ke Amerika. (Padahal) waktu itu semester di Amerika sudah setengah jalan, jadi sudah masuk mid-term,” ceritanya.
Tidak hanya itu, ia pun harus beradaptasi dengan kuliah virtual di era pandemi. Namun, Diyanah tidak putus asa, ia terus berjuang di kampus hingga lulus Mei lalu.
Pengalaman Kerja di AS
Kini Diyanah tengah bekerja sebagai program assistant intern di sebuah lembaga nirlaba, The Maureen and Mike Mansfield Foundation di Washington, D.C., yang mengurus kerja sama antara Amerika dan negara-negara di Asia Timur, khususnya Jepang.
Izin kerja selama 1 tahun ini diberikan kepada lulusan internasional lewat program bernama Optional Practical Training. Pekerjaan yang dipilih pun harus sesuai bidang studi yang ditempuh. Untuk mendapatkan pekerjaan pun tidaklah mudah dan sangat kompetitif, mengingat daerah Washington, D.C. termasuk salah satu kota tujuan para lulusan di bidang yang ia tekuni.
“Instansi-instansi yang fokus di bidang ini memang letaknya di (Washington, D.C.), jadi saingannya enggak cuman dari lulusan-lulusan daerah (Washington, D.C., Maryland, Virginia), tapi daerah lain juga semuanya pada nyari di sini,” jelasnya.
Jangan Takut Bertanya
Bagi teman-teman yang bercita-cita untuk melanjutkan studi ke luar negeri, Diyanah berpesan agar teliti dalam membaca berbagai persyaratan yang diperlukan dan memiliki tujuan yang jelas dalam menempuh pendidikan selanjutnya.
“Selain di esai, itu pun yang akan dipertanyakan nanti waktu di tahapan terakhir di interview,” katanya.
“Jangan sampai cuman mau sekolah ke luar negeri itu cuman mau gaya-gaya saja, karena kelihatannya enak aja. Yang dijalani itu prosesnya berbeda sama apa yang terlihat dari orang lain yang udah ngejalanin,” tambah Diyanah.
Dalam melalui perjalananannya hingga ke titik yang sekarang, Diyanah selalu mengingat pesan dari salah satu seniornya yang mengatakan, “there is no growth in comfort zone” atau tidak ada pertumbuhan atau perkembangan ketika berada di zona nyaman.
“Jadi tiap hari memang susah. Sekolah itu susah, kerja itu susah. Jadi apa pun yang dijalani, yang baru, itu pasti susah. Kalau memang enggak susah, justru kita enggak berkembang,” tegas Diyanah.
Tak ketinggalan, Diyanah juga berpesan untuk jangan takut bertanya.
“Kita tahu mungkin di Indonesia dulu, orang yang banyak bertanya itu terlihat bodoh. Tapi di sini nggak. Semakin banyak bertanya justru itu menunjukkan bahwa kita itu memang sedang pay attention sama sesuatu yang dijelaskan di kelas. Nggak ada yang namanya silly atau stupid questions di Amerika, semua orang sangat senang untuk menjawab,” katanya.
Beasiswa 10 Bulan di AS
Kesempatan untuk menempuh pendidikan di Amerika Serikat melalui beasiswa sangatlah beragam. Beasiswa untuk mengikuti pendidikan singkat di Amerika juga tersedia, salah satunya melalui program 10 bulan, Community College Initiative Program-AMINEF atau CCIP, yang tengah dijalani oleh Rosfatima Jamal yang akrab disapa Oca.
Oca mendapatkan pengalaman berharga ketika dirinya mendapat kabar bahwa ia berhasil mendapatkan beasiswa ini. Keberhasilan Oca merupakan sebuah pencapaian mimpi yang telah ia kejar sejak beberapa tahun terakhir ini.
Pernah 18 kali gagal berangkat ke luar negeri untuk beasiswa, perempuan asal desa Langgowala yang berjarak sekitar 82km dari Kendari, Sulawesi Tenggara ini akhirnya berangkat ke Amerika Serikat Agustus lalu untuk menempuh pendidikan singkat lewat program CCIP di negara bagian Virginia.
Selalu teringat kata-kata almarhum sang ayah, perempuan yang akrab disapa Oca ini memilih untuk tidak pernah menyerah dalam menggapai mimpinya.
“Kata papaku kamu udah setengah jalan loh. Udah sedang berjalan di jalur yang kamu mau. Kalau kamu berhenti ya enggak bakalan nyampe-nyampe. Itu aja sih aku inget terus,” ceritanya kepada VOA belum lama ini.
Mimpi Oca ke Luar Negeri
Sejak lulus kuliah S1 jurusan ilmu komunikasi dari universitas Tadulako, Palu, tahun 2015 lalu, Oca sempat bekerja di salah satu stasiun TV swasta. Ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri pada tahun 2016 dan fokus belajar bahasa Inggris di “Kampung Inggris” di Pare, sebagai bekal untuk mencari beasiswa yang bisa membawanya ke pendidikan yang lebih tinggi di luar negeri.
Awalnya, Oca berusaha mencari beasiswa S2 melalui AAS (Australia Awards Scholarships) untuk kuliah ke Australia dan Chevening ke Inggris. Namun, ia gagal menembus keduanya.
Belum putus asa, Oca lalu mendaftar berbagai beasiswa untuk beragam program singkat demi menambah pengetahuannya, hingga belasan kali. Empat beasiswa untuk program singkat berhasil ia raih, namun, ia gagal berangkat karena kendala biaya.
“Ternyata harus self funding dan biayanya lumayan besar. Ke Korea dua kali, ke Malaysia dua kali, tapi enggak jadi berangkat,” ujarnya.
Tahun 2019 ketika ayahnya meninggal dunia, Oca memutuskan untuk kembali ke kampung dan menemani ibunya. Berkaca pada perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan, Oca lalu mengajak anak-anak di kampungnya untuk belajar dan menggali kemampuan yang bisa memajukan kehidupan mereka.
“Karena aku ngerasin banget waktu tinggal di kampung pas kecil sampai SMA tuh satu-satunya ruang belajar yang bisa kita akses cuman ada di sekolah. Enggak ada di luar sekolah, dimana kita pengin banget belajar. Gimana caranya public speaking, writing, dan itu yang jadi alasan aku,” kata perempuan yang hobi memasak dan jalan-jalan ini.
Oca mendengarkan keluh kesah anak-anak muda di kampungnya yang ingin kuliah, namun buta akan informasi dan terhambat biaya. Kebanyakan dari mereka ingin keluar dari Sulawesi untuk merasakan sekolah di Jawa atau luar negeri, namun juga tidak punya akses mengenai jurusan atau kesempatan yang ada.
Oca pun mulai memperkenalkan tentang beasiswa sebagai salah satu jalan untuk meneruskan pendidikan.
“Terus aku ajak mereka ke saung tani, karena saung tani nih satu-satunya tempat kami untuk akses sinyal internet lancar. Itu sekitar dua kilo dari rumah,” kata Oca.
Sampai suatu hari di saung tani, Oca pun menemukan satu lagi peluang beasiswa, yaitu CCIP dan ia pun memutuskan untuk mendaftar.
“Ibu aku ngedukung, karena memang dari 2016 sejak (memutuskan) buat serius belajar bahasa Inggris, (orang tua) bertanya, ‘ayo kapan, ayo mana?’ karena udah berkali-kali gagal,” kenang Oca sambil tertawa.
Awalnya Oca sempat tidak percaya diri untuk mendaftar beasiswa ke Amerika, setelah melihat salah seorang tutornya di Pare yang pada waktu itu mendaftar program beasiswa Fulbright untuk kuliah di Amerika.
“Sempat bercanda ke teman, ‘aduh, aku nih kalau daftar paling baru sampai kantor pos sudah ditolak,’” kata Oca sambil tertawa lagi.
Namun, setelah melalui tahap penyisihan dan proses wawancara yang cukup panjang, Oca termasuk satu diantara 29 peserta yang terpilih untuk program CCIP tahun ini. Seluruh biaya, mulai dari proses visa, biaya keberangkatan, pendidikan dan hidup di Amerika, ditanggung oleh departemen luar negeri AS yang mensponsori beasiswa ini.
“Masih kayak mimpi aja sih, waktu awal-awal tuh ‘beneran enggak ya ini?’” katanya.
Kesulitan Bahasa Inggris di Kelas
Dua puluh sembilan peserta dari Indonesia termasuk Oca tahun ini berhasil terpilih untuk mengikuti program CCIP di sekitar 10 negara bagian. Program ini memiliki lima pilar yang menjadi fokus utama, yaitu pendidikan akademik, program magang, menjadi sukarelawan, pelatihan kepemimpinan, dan pertukaran budaya.
Oca ditempatkan di negara bagian Virginia untuk kuliah selama 10 bulan di Northern Virginia Community College di Annandale, Virginia. Salah satu tantangannya adalah para peserta diharuskan untuk mengambil ilmu yang berseberangan dari pendidikan yang pernah diambil sebelumnya di negara asal.
“Aku S1 ilmu komunikasi. Jadi pas daftar ini enggak boleh sama. Jadi harus cross major,” kata lulusan Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah ini.
“Jadi aku ambil business management and administration, tapi fokus ke leadership development. Karena goal aku setelah program ini (adalah) gimana caranya bisa punya pengetahuan jadi leader untuk organisasi terutama untuk NGO,” tambah Oca.
Tidak hanya harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang baru, Oca juga harus berjuang kuliah dengan bahasa Inggris.
“Dua bulan pertama tuh aku nggak ngerti dosennya ngomong apa, karena cepat banget. Terus sering (bercanda) yang aku enggak ngerti, pakai slang, dan itu memang perjuangan banget, karena setiap selesai kelas aku harus balik ke rumah dan ngulang materi itu lagi belajar sendiri,” cerita Oca.
Ia juga harus beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupannya yang baru. Mulai dari minum air langsung dari keran yang sempat membuatnya “shock” dan merasa aneh, hingga berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar budaya yang berbeda, seperti teman-teman serumahnya yang berasal dari Ghana, Afrika Selatan, dan Turki.
“Kita kan orang Indonesia. Meskipun mungkin ada yang keras dari daerah timur, tapi enggak yang sampai teriak-teriak ya. Jadi pertama sampai sini, punya teman yang budayanya beda, ngomongnya keras, aku sempat (pikir), ‘dia marah-marah terus enggak ya ini?’ Soalnya dia teriak-teriak melulu kan dan ternyata itu memang budaya mereka kalau ngomong memang kencang banget,” kata Oca.
Jadi Relawan di AS
Salah satu pengalaman yang paling berkesan menurut Oca selama di Amerika adalah ketika ia menjadi relawan, sebagai bagian dari program CCIP ini.
Program ini memberikan target kepada para pesertanya untuk menjadi relawan selama total 100 jam dalam 10 bulan.
“Aku kemarin volunteer-nya beda-beda. Pernah volunteer di (daerah) Virginia, lalu ikut sama USINDO. Ini paling berkesan, karena bisa ketemu sama ibu Sri Mulyani dan waktu itu dapat kesempatan untuk jadi guide tamu VIP,” ceritanya.
Tak terasa empat bulan sudah Oca tinggal di Amerika. Ia akhirnya bisa menggapai mimpinya untuk meraih pendidikan di luar negeri dan mendapat berbagai pengalaman baru di Amerika.
“Kalau aja bisa (memutar) waktu dan balik ke masa (lalu), aku pengin kayak bilang ke diriku yang waktu itu, ‘enggak (apa-apa), jangan nangis, ini cuman masalah waktu, bentar lagi udah (sampai) kok,’” kata Oca.
Oca pun menjadi lebih semangat lagi dalam mengejar cita-citanya untuk meraih pendidikan S2 suatu hari nanti. [di/dw]