Pemandangan gunungan sampah plastik yang berlapis-lapis di Gresik dan sungai Ciliwung Jakarta tersorot dalam film dokumenter garapan sineas sekaligus aktivis Amerika, Stiv Wilson, berjudul “The Story of Plastic.”
Film yang dirilis tahun 2019 ini mengungkap berbagai permasalahan akibat sampah plastik di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, India, dan Filipina, serta upaya para aktivis lokal yang berjuang memerangi isu plastik di seluruh dunia.
Film yang tayang melalui kanal Discovery di AS ini berhasil memenangkan penghargaan Emmy (berita dan dokumenter), untuk kategori penulisan cerita terbaik.
Dalam sebuah adegan film ini nampak aktivis lingkungan sekaligus Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Tiza Mafira, tengah naik perahu sambil menyusuri kali Ci liwung yang dipenuhi oleh plastik. Perjalanan selama hampir 1 jam itu berhasil membuat para kru “syok.”
“Semua orang diam sih,” ujar Tiza Mafira kepada VOA.
“Sepanjang perjalanan itu penuh semuanya dengan pemandangan plastik dimana-mana, berlapis-lapis gitu,” tambahnya.
Sineas Stiv Wilson sendiri mengaku siap melihat adanya sampah di kali itu, namun tidak menyangka akan melihatnya hingga berlapis-lapis mencapai hingga 5 meter.
“Jadi sangat tidak mungkin untuk dibersihkan. Yang bisa dilakukan hanyalah menghentikan pembuangan sampah ke sungai. Dan yang paling membuat terpukul adalah adanya kerusakan permanen. Uang sebesar apa pun atau mitigasi tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Stiv Wilson, selaku produser film dokumenter “The Story of Plastic” kepada VOA.
Sampah Plastik Bukan Isu Baru
Permasalahan sampah plastik memang bukan merupakan isu global yang baru, khususnya bagi Indonesia. Namun, isu ini cukup mengagetkan kru film “The Story of Plastic,” yang pada waktu itu melihat dengan mata kepala sendiri kondisi yang ditimbulkan oleh sampah plastik di Indonesia.
Film dokumenter berdurasi sekitar 90 menit itu juga memperlihatkan Direktur Eksekutif ECOTON, Prigi Arisandi juga sempat membawa langsung para kru film ke tempat pembuangan sampah plastik di Greksik, Jawa Timur untuk melihat kondisi yang sebenarnya.
“Teman-teman dari Amerika sempat kaget melihat yang sebenarnya setiap hari dirasakan, ya bagi masyarakat tuh biasa gitu ada orang bakar sampah, kemudian orang tuh bergumul dengan sampah impor yang memilah-milah sampah medis yang bercampur dengan kertas,” cerita Prigi kepada VOA belum lama ini.
Kekagetan yang dirasakan oleh para kru ternyata ikut membuat Prigi sendiri kaget. Pasalnya masih banyak hal yang tidak semestinya dilakukan di Indonesia.
“Banyak hal-hal yang membangkitkan (pikiran) kok ya enggak layak gitu. Jadi kita juga merasa, mereka kaget jadi kita juga kaget, ‘oh enggak boleh toh seperti itu?’” kata aktivis peraih penghargaan bergengsi terkait lingkungan, Goldman tahun 2011 ini.
Dengan menggunungnya sampah plastik, menurut Tiza, berbagai kerja bakti untuk membersihkan sungai yang menjadi upaya pemerintah dan beberapa perusahaan untuk menyelesaikan masalah tidaklah cukup.
“Ini enggak bisa dengan pembersihan, ini harus dicegah dari awal, dan ini nggak bisa kalau kita nggak setop kerannya, nggak setop produksinya, ini enggak bakalan ada improvement,” ujar perempuan yang pernah dianugerahi penghargaan Ocean Hero dari Badan Lingkungan PBB tahun 2018 ini.
Tiza menambahkan, kepihatinan masyarakat akan sampah plastik ini biasanya muncul ketika melihatnya di sungai-sungat atau laut. Namun, sebenarnya masalahnya ada di awal saat plastik tersebut pertama kali diproduksi.
“Produksinya itu dari minyak bumi. Di setiap langkah perjalanan panjang dari minyak bumi menjadi plastik, itu selalu ada suatu masalah. Selalu ada suatu masalah lingkungan di situ,” tegasnya.
Sampah Plastik “Bentuk Penjajahan Baru”
Sampah plastik yang menumpuk dan polusi yang dihasilkan di Indonesia dan negara-negara lainnya yang diceritakan dalam film dokumenter “The Story of Plastic,” tidak hanya berasal dari sampah warga setempat, namun juga kiriman dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Eropa.
“Saya rasa kita menyalahkan negara-negara ini (yang telah) menghasilkan sampah. Namun kenyataannya, ini adalah kiriman sampah dari negara-negara privilege (yang memiliki hak keistimewaan). Jadi ini adalah masalah keadilan. Anda tidak bisa menyalahkan negara-negara penerima atas sampah-sampah yang tidak bisa mengelolanya,” kata Stiv Wilson.
Selama puluhan tahun sampah-sampah plastik ini dikirim ke berbagai negara, termasuk Malaysia, Filipina, dan Indonesia, dan telah membuka lapangan pekerjaan bagi warga yang diharapkan bisa membantu proses pemilahannya. Namun menurut Prigi, pada kenyataannya, lemahnya kebijakan di negara penerima membuat sampah kiriman tersebut menjadi masalah besar.
“Jadi ini kan bentuk penjajahan baru kan. Jadi kita ini kayak apa ya, negara level ke-3 gitu ya. Level pertama kan mungkin Amerika, UK, Jerman, tapi mereka juga ternyata membuang sampahnya ke kita, jadi sebenarnya yang menjadi problem kan sampah plastik. Jadi ternyata negara maju itu tidak mau mengolah sampah. Tidak mau mendaur ulang sampah mereka. Sampah mereka kan dibuang ke tempat kita. Ke Indonesia, ke Malaysia, ke Filipina, Tunisia, negara-negara Afrika,” jelas Prigi.
Prigi menambahkan, memang kemudian kiriman sampah plastik yang bercampur dengan sampah domestik, medis, popok dan sebagainya ini bisa “menopang ribuan orang” dengan membuka lapangan pekerjaan bagi para pemilah sampah di Indonesia. Namun, yang terlupakan adalah “efek buruknya” terhadap lingkungan.
“Sampah-sampah itu menumpuk, menggunung. Itu dibiarkan,” kata Prigi.
“Baru setelah kita ramai-ramaikan, mereka kemudian melarang (masuknya sampah impor),” tambahnya.
Namun, dengan adanya pelarangan pengiriman sampah, kini banyak orang yang kehilangan pekerjaan.
“Karena ada ribuan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari istilahnya tuh petani plastik ya. Mereka memilah sampah impor tadi itu. Mereka juga jadi terganggu pendapatannya karena aktivitas kami. Mereka jadi berlawanan dengan kami, kontra gitu, terintimidasi,” katanya.
Diet Kantong Plastik
Perjalanan menuju dunia yang bebas plastik tentu saja masih panjang. Namun, hal ini tidak mengecilkan semangat para aktivis seperti Tiza dan Prigi untuk selalu membantu memerangi penggunaan plastik.
“Banyak sekali plastik sekali pakai yang sebenarnya kita konsumsinya berlebihan dan enggak kita perlukan. Jadi kayak misalnya kita belanja, ‘harus banget ya pakai kresek?’ Kan enggak perlu, “ ujar Tiza.
Inilah yang juga mendorong Tiza untuk mendirikan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, lembaga non-profit yang berdasarkan situsnya bertujuan “menjadikan Indonesia Bebas Kantong Plastik.” Salah satu usahanya adalah melalui uji coba “Kantong Plastik Tidak Gratis” yang pertama kali dilakukan tahun 2016.
“Kita mendorong supaya itu ada kebijakan aja deh supaya lebih gampang buat orang-orang untuk mengubah kebiasaannya. Nah, sejak kita berhasil mendorong pelarangan kantong plastik di berbagai kota di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta dan Bali. Itu langsung berubah, perilaku masyarakat, menjadi membiasakan diri membawa tas belanja sendiri sekarang,” kata perempuan kelahiran 1984 ini.
Tiza melihat dampak yang positif saat diberlakukannya pelarangan dalam memakai beberapa jenis plastik sekali pakai, khususnya ketika berkurangnya sampah kantong plastik atau kresek yang ditemukan saat melakukan pembersihan di pantai.
“Tetapi kan belum cukup. Kan masih banyak plastik sekali pakai lainnya, seperti sedotan. Yang lumayan jahat tuh sachet, styrofoam ya, jahat karena nggak bisa didaur ulang, dan sangat mencemari lingkungan,” tambahnya.
Dengan tersorotnya situasi dan kondisi terkait isu sampah plastik di Indonesia dalam film dokumenter "The Story of Plastic," Prigi berharap masyarakat tidak hanya berdiam diri.
“Jadi kalau kita ini diam maka kerusakan akan semakin parah. Orang-orang akan asyik gitu ya, mencemari sungai. Maka kita harus terus bergerak, terus melawan, terus mengingatkan gitu dengan berbagai cara agar kemudian ini masuk ke dalam pola pikir mereka gitu lho,” tambahnya.
Tak ketinggalan, Tiza mengajak warga di Indonesia untuk berhenti menggunakan sampah yang tidak bisa didaur ulang, serta memilah sampah dari rumah masing-masing.
“Itulah yang kemudian membuat kita bisa lebih konsisten dalam menolak yang namanya kantong plastik, sedotan, styrofoam, sachet, itu kita akan jauh lebih konsisten ketika menyadari bahwa ini semua tuh nggak ada yang daur ulang. Karena saya mau ngasih ke siapa pun enggak ada yang mau terima, enggak laku gitu,” kata Tiza.
Film dokumenter “The Story of Plastic” yang berdurasi hampir 90 menit ini disutradarai oleh sineas sekaligus produser asal AS, Deia Schlosberg. Film ini kini tengah dapat ditonton secara gratis melalui kanal YouTube Discovery. [di/dw]