Tautan-tautan Akses

Kemiskinan di Afghanistan Dorong Orang Tua Suburkan Praktik Jual Beli Anak


Orang-orang mengantre untuk menerima uang tunai pada pembagian uang yang diselenggarakan oleh Program Pangan Dunia di Kabul, Afghanistan, 3 November 2021. (Foto: AP)
Orang-orang mengantre untuk menerima uang tunai pada pembagian uang yang diselenggarakan oleh Program Pangan Dunia di Kabul, Afghanistan, 3 November 2021. (Foto: AP)

Di tempat penampungan orang-orang terlantar akibat kekeringan dan perang di Afghanistan, seorang perempuan berjuang untuk menyelamatkan putrinya.

Suami Aziz Gul menjual gadis berusia 10 tahun untuk dinikahkan tanpa memberitahu istrinya. Ia mengambil uang muka agar dapat memberi makan keluarganya dengan lima anak. Tanpa uang itu, katanya, mereka semua akan kelaparan. Dia harus mengorbankan satu anak untuk menyelamatkan sisa keluarganya.

Banyak dari orang-orang miskin Afghanistan yang semakin banyak membuat keputusan yang didorong oleh rasa putus asa seperti ini ketika negara mereka terjebak di dalam pusaran kemiskinan.

Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)
Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)

Ekonomi negara yang bergantung pada bantuan itu sudah tertatih-tatih ketika Taliban merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus di tengah kekacauan penarikan pasukan AS dan NATO. Komunitas internasional membekukan aset Afghanistan di luar negeri dan menghentikan semua pendanaan, tidak mau bekerja dengan pemerintah Taliban karena reputasinya yang brutal selama pemerintahan sebelumnya 20 tahun lalu.

Konsekuensi tersebut semakin menghancurkan negara yang telah dilanda perang selama empat dekade, kekeringan yang menyiksa, dan pandemi virus corona. Sejumlah pegawai negeri, termasuk dokter, belum dibayar selama berbulan-bulan. Malnutrisi dan kemiskinan mengintai mereka yang paling rentan, dan kelompok bantuan mengatakan lebih dari setengah populasi menghadapi kekurangan pangan akut.

Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)
Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)

“Hari demi hari, situasi di negara ini semakin memburuk, dan terutama anak-anak menderita,” kata Asuntha Charles, direktur nasional organisasi bantuan World Vision di Afghanistan, yang menjalankan klinik kesehatan untuk orang-orang terlantar di luar kota barat Herat.

"Hari ini saya sangat sedih melihat keluarga bersedia menjual anak-anak mereka untuk memberi makan anggota keluarga lainnya," kata Charles. “Jadi ini waktu yang tepat bagi komunitas kemanusiaan untuk berdiri dan tinggal bersama rakyat Afghanistan.”

Mengatur pernikahan untuk gadis-gadis yang sangat muda adalah praktik yang sering dilakukan di seluruh wilayah. Keluarga mempelai pria — seringkali kerabat jauh — membayar uang untuk membuat kesepakatan yang mengikat, dan anak biasanya tinggal bersama orang tuanya sendiri sampai dia setidaknya berusia sekitar 15 atau 16 tahun. Namun dengan banyaknya warga yang tidak mampu membeli makanan pokok, beberapa mengatakan mereka akan mengizinkan calon pengantin pria untuk mengambil gadis yang sangat muda atau bahkan mencoba untuk menjual anak laki-laki mereka.

Namun Gul, yang menjadi anomali dalam masyarakat yang sangat patriarkal dan didominasi laki-laki ini, menolak hal tersebut. Ia menikah pada usia 15 tahun, tapi dia mengancam akan melakukan bunuh diri jika putrinya, Qandi Gul, dibawa pergi secara paksa.

Gul ingat betul saat dia mengetahui suaminya telah menjual Qandi. Selama sekitar dua bulan, keluarga sudah bisa kembali makan. Akhirnya, dia bertanya kepada suaminya dari mana uang itu berasal, dan suaminya memberi tahu dia.

Dia bertanya kepada suaminya mengapa dia melakukannya.

Anak-anak Afghanistan. (Foto: AP/Matthias Schrader)
Anak-anak Afghanistan. (Foto: AP/Matthias Schrader)

“Dia bilang dia ingin menjual satu dan menyelamatkan yang lain. 'Kalian semua akan mati dengan cara ini,' (katanya.) Saya mengatakan kepadanya, 'Mati jauh lebih baik daripada apa yang telah kamu lakukan.'”

Itu uang yang tidak dia miliki. Suaminya melarikan diri, mungkin karena takut Gul akan mengadukannya ke pihak berwenang. Pemerintah Taliban baru-baru ini mengumumkan larangan memaksa perempuan menikah atau menggunakan perempuan dan anak perempuan sebagai alat tukar untuk menyelesaikan perselisihan.

Keluarga calon pengantin pria, seorang pria berusia sekitar 21 atau 22 tahun, telah mencoba beberapa kali untuk mengklaim gadis itu, katanya. Dia tidak yakin berapa lama dia bisa malawan mereka.

“Aku hanya sangat putus asa. Jika saya tidak dapat menyediakan uang untuk membayar orang-orang ini dan tidak dapat menjaga putri saya di sisi saya, saya telah mengatakan bahwa saya akan bunuh diri,” kata Gul. “Tapi kemudian saya berpikir tentang anak-anak lain. Apa yang akan terjadi pada mereka? Siapa yang akan memberi mereka makan?” Anak sulungnya berusia 12 tahun, anak bungsunya — yang keenam — baru berusia dua bulan.

Saat ini Gul menitipkan anak-anak bersama ibunya yang sudah lanjut usia sementara dia pergi bekerja di rumah-rumah penduduk. Putranya yang berusia 12 tahun bekerja memetik kunyit sepulang sekolah. Namun upah yang mereka dapatkan hampir tidak cukup untuk memberi mereka makan, dan musim panen safron pendek, hanya beberapa minggu di musim gugur.

"Kami tidak punya apa-apa," kata Gul.

Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)
Anak-anak Afghanistan berjalan-jalan pada 30 Agustus 2021. (Foto: AP/Matthias Schrader)

Di bagian lain kamp yang sama, ayah empat anak Hamid Abdullah juga menjual putrinya yang masih kecil untuk dijodohkan, sangat membutuhkan uang untuk mengobati istrinya yang sakit kronis, hamil anak kelima mereka.

Abdullah meminjam uang untuk membayar perawatan istrinya dan tidak dapat membayarnya kembali. Jadi tiga tahun lalu, dia menerima uang muka untuk putri sulungnya Hoshran, sekarang berusia 7 tahun, dalam perjodohan dengan seorang anak berusia 18 tahun di provinsi asal mereka, Badghis. Dia sekarang mencari seseorang untuk membelikan putri keduanya, Nazia, yang berusia 6 tahun.

“Kami tidak punya makanan untuk dimakan,” jelas Abdullah, seraya menambahkan bahwa dia juga harus membeli obat untuk istrinya, yang akan membutuhkan perawatan lebih lanjut. "Dia membutuhkan operasi lagi, saya tidak punya satu orang Afghanistan untuk membayar dokter."

Perempuan Afghanistan berjalan di depan relung yang pernah terdapat patung Buddha raksasa, di Bamiyan, 21 April 2009. Dua patung Buddha pernah diledakkan oleh Taliban pada tahun 2001. (Foto: REUTERS/Omar Sobhani)
Perempuan Afghanistan berjalan di depan relung yang pernah terdapat patung Buddha raksasa, di Bamiyan, 21 April 2009. Dua patung Buddha pernah diledakkan oleh Taliban pada tahun 2001. (Foto: REUTERS/Omar Sobhani)

Keluarga yang membeli Hoshran menunggu sampai dia lebih tua sebelum jumlah penuh dilunasi, jelasnya.

"Apa yang harus kita lakukan? Kami harus melakukannya, kami tidak punya pilihan lain,” kata istrinya, Bibi Jan. “Ketika kami membuat keputusan, seperti seseorang telah mengambil bagian tubuh dari saya.”

Di provinsi tetangga Badghis, keluarga pengungsi lainnya sedang mempertimbangkan untuk menjual putra mereka, Salahuddin yang berusia 8 tahun.

“Saya tidak ingin menjual putra saya, tetapi saya harus melakukannya,” kata pria berusia 35 tahun itu. "Tidak ada ibu yang bisa melakukan ini pada anaknya, tetapi ketika Anda tidak punya pilihan lain, Anda harus membuat keputusan yang bertentangan dengan keinginanmu."

Salahuddin mengerjap dan menatap dalam diam. Dikelilingi oleh beberapa dari tujuh saudara laki-laki dan perempuannya, bibirnya sedikit bergetar.

Fatima menggendong putrinya yang berusia 4 tahun, Nazia, yang menderita kekurangan gizi akut, di rumah mereka dekat Herat, Afghanistan barat, 16 Desember 2021. (Foto: AP)
Fatima menggendong putrinya yang berusia 4 tahun, Nazia, yang menderita kekurangan gizi akut, di rumah mereka dekat Herat, Afghanistan barat, 16 Desember 2021. (Foto: AP)

Ayahnya, Shakir, yang salah satu matanya buta dan memiliki masalah ginjal, mengatakan anak-anaknya telah menangis selama berhari-hari karena kelaparan. Dua kali, katanya, dia memutuskan untuk membawa bocah itu ke pasar dan dua kali dia tersendat, tidak mampu melakukannya. "Tapi sekarang saya pikir saya tidak punya pilihan lain selain menjualnya."

Membeli bocah laki-laki memang tidak biasa dibandingkan membeli anak perempuan, dan ketika itu terjadi kemungkinan besar bayi laki-laki itu dibeli oleh keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam keputusasaannya, Guldasta berpikir mungkin keluarga seperti itu menginginkan anak berusia 8 tahun.

Keputusasaan jutaan orang jelas karena semakin banyak orang menghadapi kelaparan. PBB mempekirakan pada akhir tahun, sekitar 3,2 juta anak di bawah 5 tahun akan menderita kekurangan gizi akut. [ah/rs]

XS
SM
MD
LG