Kabar positif itu disampaikan komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam penyataan bersama empat lembaga terkait pengusutan kasus tersebut, Kamis (6/12). Empat lembaga yang mengawal kasus ini adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK), Komnas Perempuan dan Ombudsman RI.
“Akhirnya berkas penyidikan telah diterima oleh kejaksaan tinggi atau biasa kita sebut P21 sehingga kasus ini siap diperiksa di persidangan atau proses penuntutan,” kata Aminah.
Proses Panjang Dua Tahun
Dalam peristiwa ini, MNK santriwati berumur 22 tahun, telah mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh MSAT. Laki-laki ini merupakan anak pemilik sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Shidiqiyah, beserta sejumlah unit usaha pesantren.
Kasus kekerasan seksual ini telah dilaporkan ke Kepolisian Resor Jombang pada 29 Oktober 2019. Desakan masyarakat agar polisi mengusut kasus ini bahkan tidak membuat penyidikannya menjadi lebih cepat. Bahkan, terjadi tindak penganiayaan dan ancaman kekerasan pada seorang Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang tergabung dalam Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS) pada 9 Mei 2021. Organisasi ini aktif membela korban dan menuntut pelaku segera ditangkap.
Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual ini berlatar belakang relasi kuasa. Pelaku merupakan anak pemilik pondok pesantren, dan korban adalah santriwati atau perempuan pelamar kerja di unit-unit usaha pondok tersebut. Pelaku, menurut Komnas Perempuan, memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan.
Polisi, kata Aminah, juga memiliki hambatan besar mengusut kasus tersebut.
“Mengingat tersangka memiliki relasi cukup kuat dan keluarganya memiliki relasi dan pengaruh kuat di Jombang. Hal ini pernah terlihat, ketika ada upaya paksa, kepolisian tidak bisa masuk ke area kompleks pesantren, karena dilakukan penjagaan,” ujar Aminah.
Ada pula upaya mengalihkan kasus kekeraan seksual ini sebagai upaya mencemarkan nama baik pesantren. Polisi juga menghadapi upaya mobilisasi massa di lingkungan pesantren, sehingga harus berhati-hati.
Kerja Sama Berbagai Pihak
Komisoner Ombudsman RI, J. Widijantoro mengaku, lembaganya bekerja sama dengan berbagai pihak di Jawa TImur untuk mengawal kasus ini sejak awal.
“Kenapa teman-teman di Jawa Timur meminta kita di pusat untuk masuk ke Kejaksaan Agung? Karena memang disinyalir ada intervensi yang cukup kuat yang sekiranya menggangu proses penyidikan dan penuntutan,” kata Widijantoro.
Kejaksaan sendiri telah menyatakan berkas lengkap atau P21 pada 4 Januari 2021 lalu.
“Langkah selanjutnya, kita semua akan mengawal, mengamati, mencermati, bagaimana Jaksa Penuntut Umum, menuntut tersangka atau terdakwa sampai pada proses peradilan yang seadil-adilnya,” tambahnya.
Ketua Kompolnas, Irjen Pol.(P) Benny Jozua Mamoto menyebut, setidaknya ada dua persoalan dari sisi polisi yang membuat kasus Jombang ini butuh waktu lama.
“Pertama, adalah kompetensi dari penyidik. Belum seluruhnya penyidik Unit Perempuan dan Anak itu pernah mengikuti pelatihan dan sebagainya, sehingga perspektif mereka anggap ini kasus biasa. Padahal sebenarnya perlu penanganan khusus, pendekatan khusus,” kata Benny.
Persoalan kedua adalah karena para penyidik mengeluh dan mengatakan bahwa kasus tersebut sudah lama terjadi, tidak ada barang bukti dan Tempat Kejadian Perkara (TKP yang sudah rusak. Mendengar ini, Kompolnas telah berkoordinasi dengan Pusat Laboratorium Forensik Polri. Kompolnas mendiskusikan penanganan kasus semacam ini, dengan belajar dari kasus-kasus sejenis di luar negeri yang sudah puluhan tahun tetap dapat terungkap.
“Di situlah muncul optimisme, meskipun TKP sudah rusak tetapi Puslabfor masih bisa mencari jejak DNA yang ada di TKP. Kalau ini bisa dilakukan, maka kasus kekerasan seksual perempuan dan anak ini bisa ditangani optimal,” kata Benny.
Kompolnas sendiri telah mendorong Kapolri meningkatkan Unit PPA bagi perempuan dan anak, menjadi sebuah direktorat tersendiri. Kapolri, kata Benny, telah merespon baik masukan tersebut.
Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, mengatakan dalam kasus Jombang ini pihaknya telah menerima satu korban sebagai terlindung.
“Memang kami sempat mengirim tim investigasi untuk beberapa permohonan perlindungan kepada korban lainya, tetapi yang kemudian meneruskan menjadi terlindung LPSK pada saat ini satu orang,” kata Livia.
LPSK tetap membuka pintu bagi korban-korban lain dalam kasus ini, jika membutuhkan pelindungan dari lembaga tersebut. Seluruh saluan permohonan tersedia dan dapat dimanfaatkan. LPSK juga mencatat, dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang masuk dan ditangani lembaga itu, 63 persen pelaku mengenal baik korban.
Pernyataan Bersama Empat Lembaga
Dalam pernyataannya, Kompolnas, Komnas Perempuan, LPSK dan Ombudsman RI mengapresiasi keberanian dan kekukuhan saksi dan/atau korban dan pendamping dalam menyuarakan dan mengklaim keadilannya melalui sistem peradilan pidana. Keempat lembaga juga mengapresiasi Kepolisian Polda Jawa Timur yang mengumpulkan bukti-bukti sesuai petunjuk jaksa dan terbuka untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk membuat terang dugaan kekerasan seksual ini.
Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum juga diapresiasi karena memberikan perhatian terhadap penanganan kasus ini. Mereka juga merekomendasikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengimplementasikan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam menuntut kasus ini.
Apresiasi juga diberikan kepada Kementerian PPA yang memberikan layanan rujukan akhir melalui penyediaan ahli yang membantu terangnya kasus ini dan berkoordinasi dengan Jaksa Agung. DPR RI dan Pemerintah diminta untuk segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS agar hukum acara penanganan kasus kekerasan seksual yang meliputi (1) pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan; (2) hak-hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan; (3) Larangan mempidanakan atau menggugat saksi dan/atau korban kekerasan seksual; dan (4) perluasan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual, agar dapat dipenuhi secara sistematis dan terlembaga.
Lembaga pengawas dan lembaga non struktural diminta mengembangkan pola kerja sama dan koordinasi dalam merespon kasus kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tupoksi atau wewenang masing masing. [ns/ab]