Komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi pekerja migran, terutama di sektor pekerja rumah tangga, dinilai masih lemah. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, yang merujuk pada perlindungan pekerja migran sektor rumah tangga di Timur Tengah.
"Observasi kami adalah hingga saat ini kita belum ada kemajuan yang signifikan untuk MoU (nota kesepahaman) perlindungan pekerja migran, terutama di sektor pekerja rumah tangga di Timur Tengah. Kemudian dalam konteks kerja sama bilateral, regional, atau internasional kita tidak memanfaatkan secara maksimal modalitas yang ada di situ," kata Wahyu.
Pemerintah, tambah Wahyu, sedianya memanfaatkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mendorong penghapusan sistem kafalah atau sistem yang digunakan untuk mengawasi buruh migran diantaranya sektor pekerja rumah tangga yang masih berlaku di negara-negara Timur Tengah.
Sistem kafalah ini mewajibkan semua tenaga kerja yang tidak terlatih untuk memiliki sponsor (biasanya majikan mereka) yang bertanggung jawab atas visa dan status hukum mereka. Praktik ini dinilai memudahkan eksploitasi pekerja.
Menurut Wahyu, ada 14 nota kesepahaman mengenai pekerja migran yang sudah kadaluwarsa dan pemerintah dinilai belum serius memperbaharui isi ke-14 nota itu. Ia mencontohkan nota kesepahaman tentang pekerja rumah tangga dengan Malaysia yang sudah habis masa berlakunya pada 2016.
Thaufik Zulbahari, anggota tim riset Migrant Care, mengatakan pemerintah harus meningkatkan perlindungan konsuler bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri – termasuk tempat penampungan sementara – dan layanan berperspektif gender yang mudah diakses.
Secara khusus Migrant Care juga meminta pemerintah menempatkan staf bidang konsuler yang lebih memahami hak asasi manusia dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pekerja migran termasuk yang menjadi korban perdagangan orang.
"Memfasilitasi pemulangan semua pekerja migran yang membutuhkan termasuk yang melarikan diri dari majikan atau kondisi kerja yang kejam atau yang berakhir dalam situasi yang tidak semestinya dalam tahan atau di tempat lain," ujar Thaufik.
Serius Lindungi Buruh Migran
Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PPK) Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana, mengatakan pemerintah sangat serius memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia. Untuk itu sejumlah instrumen telah diratifikasi.
Menurutnya ada delapan konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang terkait dengan isu pekerja migran Indonesia – mulai dari konvensi tentang penghapusan kerja paksa, kebebasan berserikat dan berorganisasi, pemberian upah yang sama hingga konvensi mengenai penghapusan diskriminasi – yang sudah diratifikasi.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga sudah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1990 yang terkait dengan standar perlindungan internasional bagi pekerja migran dan anggota keluarganya.
Namun demikian Eva mengakui masih ada konvensi internasional yang belum diratifikasi oleh pemerintah, termasuk konvensi tentang migrasi tenaga kerja, konvensi mengenai bekerja yang layak bagi pekerja rumah tangga.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga masih menjadi pekerjaan rumah karena belum ada aturan turunannya.
"Yang masih menjadi PR kita bersama ada dua. Yang satu dalam bentuk peraturan presiden terkait tugas dan wewenang atase ketenagakerjaan. Ini masih dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Kita sudah menemukan kata sepakat. Ini ke depannya sudah semakin lancar untuk segera kita sampaikan kepada Setneg (Sekretariat Negara)," tutur Eva.
Aturan turunan kedua yang belum terbit adalah peraturan pemerintah mengenai penempatan dan perlindungan awak kapal. Rancangan aturan ini sudah sampai di Sekretariat Negara dan tinggal menunggu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Eva, pemerintah akan terus berupaya semaksimal mungkin dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. [fw/em]